Rabu, 31 Agustus 2011

alasan terjadinya perbedaan 1 syawal

Menjelang Ramadhan yang lalu,
para ulama (baca: cendekia) dan
umara (baca: penguasa),
khususnya di Indonesia,
dihadapkan pada wacana
perbedaan dalam penetapan
awal Ramadhan. Dan menjelang
Idul Fitri, kita kembali
menghadapi situasi yang sama
untuk menetapkan tanggal 1
Syawal. Seringkali masyarakat
awam dibingungkan dengan
perbedaan dalam penetapan
tanggal Hijriah. Seberapa krusial
hal ini perlu untuk dibahas?
Berikut ini paparannya.
Idul Fitri merupakan hari
kemenangan bagi Umat Islam
yang telah berpuasa selama
sebulan dalam mengendalikan
dirinya dari berbagai godaan
duniawi. Sebagai penghormatan
atas hari kemenangan itu, Islam
mengharamkan berpuasa pada
hari raya Idul Fitri 1 Syawal.
Masalah kemudian muncul ketika
terjadi perbedaan dalam
penetapannya. Di satu pihak
menetapkannya sebagai Idul
Fitri, dan di pihak lain pada hari
yang sama masih melaksanakan
puasa Ramadhan. Masing-masing
pihak dengan keyakinan dan
berlindung di balik dalil-dalil
saling mengklaim keabsahan Idul
Fitri yang mereka rayakan.
Ironinya, orang-orang yang
merayakan Idul Fitri
menganggap berdosa orang-
orang yang tetap berpuasa pada
hari itu. Sebaliknya, pihak yang
menjalankan puasa pada hari itu
menganggap berdosa orang-
orang yang berbuka dan
merayakan hari kemenangannya
itu.
Perbedaan itu terjadi karena
acuan dalam menafsirkan
metode penentuan awal bulan
telah melahirkan dua aliran
besar, yaitu ru’yah dan hisab.
Pertama, aliran ru’yah. Secara
terminologi, ru’yah adalah
kegiatan untuk melihat hilal
(penampakan bulan sabit) di
ufuk langit sebelah barat sesaat
setelah matahari terbenam untuk
menentukan permulaan bulan
baru. Dalam konteks ini, hilal
menempati posisi sentral sebagai
penentu bulan baru dalam
kalender Hijriah. Hal ini
sebagaimana firman Allah:
Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit. Katakanlah:
“Bulan sabit itu adalah tanda-
tanda waktu bagi manusia… (QS.
Al Baqarah: 189)
Hilal itu sendiri hanya dapat
terlihat setelah proses ijtima’,
yaitu proses ketika bulan berada
satu kedudukan dalam satu garis
dengan matahari dan bumi.
Ketika ijtima’ terjadi, bulan
berada di antara bumi dan
matahari. Pada saat bulan
bergeser dan sebagian
permukaannya menerima cahaya
matahari yang terlihat berbentuk
seperti lengkuk cahaya yang
sangat halus, itulah yang
dinamakan hilal.
Di dalam aliran ru’yah sendiri
terdapat perbedaan dalam
penentuan irtifa’ (ketinggian)
bulan. Satu kelompok
berpendapat bahwa hilal dapat
dilihat bila irtifa’ nya minimal 2
derajat. Kelompok lainnya
menyatakan irtifa’ itu tidak boleh
kurang dari 6 derajat.
Berdasarkan metode ini, masing-
masing kelompok berijtihad
dalam penentuan tanggal 1
Syawal. Adapun yang menjadi
landasan aliran ru’yah adalah
hadits Rasulullah:
Berpuasalah kamu sekalian
karena melihat bulan (awal
Ramadhan). Dan berbukalah
kamu sekalian karena melihat
bulan (Idul Fitri). Bila hilal
tertutup awan di atasmu, maka
genapkanlah ia menjadi tiga
puluh hari. (HR. Muslim)
Kedua, aliran Hisab. Hisab
merupakan proses penetapan
awal bulan dengan
menggunakan metode ilmu
hitung menghitung. Dasar
pijakan aliran Hisab adalah
Firman Allah:
Dia-lah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-
tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). {QS. Yunus: 5}
Aliran ini mulai berkembang
sejak masa Dinasti Abbasiyah
(abad ke-8 M). Menurut aliran
hisab, ru’yah dapat dipahami
melalui prediksi/perkiraan posisi
bulan dalam ilmu hisab. Awal dan
akhir bulan tidak ditentukan oleh
irtifa’ (ketinggian) hilal. Jika
menurut ilmu hisab hilal telah
tampak, berapa pun
ketinggiannya maka hitungan
bulan baru sudah masuk.
Demikianlah penjelasan mengapa
terjadi perbedaan-perbedaan
dalam penetapan bulan baru
Hijriah di kalangan umat Islam.
Namun kedua hal tersebut
memiliki pijakan yang kuat
berdasarkan Al Quran dan Hadits.
Pilihlah menurut keyakinan
berdasarkan nalar dan
pengetahuan. Janganlah rusak
keagungan Idul Fitri karena tidak
menghormati perbedaan.
sumber : http://
faktabukanopini.blogspot.com/2011/08/
alasan-terjadinya-perbedaan-
penetapan-1.html

Sabtu, 27 Agustus 2011

Larangan dalam sholat

1. Bercelana saja
Dari Jabir ra.: “Nabi saw
melarang shalat dengan
memakai celana saja.” (HR. Khatib
Al-Baghdadi)
Laki-laki yang shalat hanya
dengan menggunakan celana,
tanpa menutup badan bagian
atas atau sedikitnya kedua
bahunya berarti telah melanggar
larangan shalat.
2. Memakai kain yang cupet
Dari Buraidah ra : “Nabi saw
melarang seseorang shalat
dengan satu kain yang cupet dan
melarang seseorang shalat
dengan bercelana tetapi kedua
pundaknya tidak ditutup
kain.” (HR. Abu Dawud dan
Hakim)
Laki-laki yang shalat hanya
mengenakan satu kain yang
cupet-kain pendek yang bila
ditarik ke atas bagian bawah
(kemaluannya)terlihat dan bila
ditarik ke bawah, pundaknya
terbuka
3. Pundak Terbuka
Dari Buraidah ra.: “Nabi saw
melarang seorang shalat dengan
satu kain yang cupet dan
melarang seseorang shalat
dengan bercelana tetapi kedua
pundaknya tidak ditutup
kain.” (HR. Abu Dawud dan
Hakim)
4. Menjulurkan kain ke tanah
Dari Abu Hurairah ra.: “Nabi saw
melarang seseorang
menjulurkan kain ke tanah dan
menutup mulutnya dalam
shalat.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu
Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim)
Laki-laki yang shalat dengan
memakai celana atau sarung
atau lainnya sampai kainnya
menyentuh tanah berarti telah
melanggar larangan hadits di
atas.
5. Mengikat/menggelung
rambut
Dari Ummu Salamah ra.: “Nabi
saw melarang seseorang laki-laki
shalat dengan rambut kepalanya
diikat/digelung.” (HR Thabarani)
6. Dekat orang berbicara
Dari Ibnu ‘Abbas ra.: “Nabi saw
melarang seseorang shalat di
belakang orang yang sedang
berbicara atau sedang tidur.” (HR
Ibnu Majah)
Orang yang hendak shalat tidak
boleh memilih tempat dekat
orang yang sedang berbicara
atau sedang tidur. Ia hendaknya
memilih tempat lain.
Nabi saw pernah shalat malam
berdekatan dengan tempat
‘Aisyah tidur, bahkan ‘Aisyah
tidur pada arah kiblat nabi. Bila
Nabi sujud dan kaki ‘Aisyah
menyentuh kepalanya, beliau
memijit kaki ‘Aisyah. Hal ini
menunjukkan shalat dibelakang
orang tidur bukan haram tapi
makruh dan makruh dan makruh
sesuatu yang lebih baik dihindari
bila tidak terpaksa. Adapaun
shalat di belakang atau di dekat
orang yang berbicara tetap
dilarang karena tidak ada
keterangan dari nabi saw.
Namun tidaklah berdosa apabila
ketika shalat datang beberapa
orang yang berbicara di
dekatnya.
7. Tergesa-gesa
Dari Samurah ra.: “Nabi saw
melarang seseoarng tergesa-
gesa dalam melakukan
shalat.” (HR. Hakim)
8. Menahan Kentut, kencing
atau berak
Dari Abu Umamah ra.: “Nabi saw
melarang seseoarang shalat
sambil menahan kentut, kencing,
atau berak (HR. Ibnu Majah)
9. Memejamkan mata
Dari Ibnu ‘Abbas ra.: “Nabi saw
bersabda:’Bila seseoarang di
antara kamu melakukan shalat,
janganlah ia memejamkan kedua
matanya.” (HR. Thabarani dan
Hakim)
Memejamkan mata ketika shalat
dengan alasan agar khusyu’
tetap dosa karena melanggar
larangan nabi saw dalam hadits
di atas.
10. Mencondong -condongkan
badan
“Apabila seorang di antara kamu
shalat, hendaklah ia
menenangkan semua anggota
badannya (tangan dan kaki) dan
janganlah mencondong-
condongkan badan seperti
dilakukan oleh orang
Yahudi.” (HR. Hakim dan Tirmidzi)
11. Mendongak
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya
Nabi saw bersabda: ‘Hendaklah
orang-orang berhenti
mendongak ke langit ketika
shalat atau penglihatan mereka
disampar (dibutakan).” (HR.
Ahmad, Muslim, dan Nasa’I)
Dari Ibnu ‘Umar ra.: “Nabi saw
bersabda: ‘Janganlah kamu
layangkan pandangan kamu ke
atas ketika shalat karena akan
celaka.” (HR Ibnu Majah dan
Thabarani)
12. Menoleh ke kanan atau ke
kiri
Dari Abu Hurairah ra.:
“(Rasullullah) saw pernah
menoleh ke kanan dan kekiri
dalam shalat, lalu Allah
menurunkan firman-Nya:
‘Sungguh beruntung orang-
orang mukmin, yaitu orang-
orang khusyu’ dalam shalat
mereka,’lalu Nabi saw tenang,
tidak lagi menoleh ke kanan dan
kekiri.” (HR.Thabarani)
Dari Abu Hurairah ra.: “Nabi
bersabda: ‘Apabila seseoarng
diantara kamu berdiri untuk
shalat, hendaklah ia
mengucapkan shalawat untukku
sampai selesai dan janganlah ia
menoleh dalam shalatnya karena
sesungguhnya ia sedang
bermunajat kepada Tuhannya
selama melakukan
shalat.” (HR.Thabarani)
13. Membunyikan telapak
tangan
Dari Mu’adz bin Anas ra.:”Nabi
saw bersabda: ‘Tertawa ketika
shalat, menoleh dan
membunyikan telapak tangan
ketika shalat (terlarang).”(HR.
Ahmad, Thabarani, dan Baihaqi)
Orang yang sedang shalat
dilarang membunyikan telapak
tangannya dengan cara menjalin
jari-jari tangan, lalu menepuk-
nepukkan telapak tangannya.
14. Menguping
Dari Abu Sa’id ra.: “Nabi saw
bersabda: ‘Bila seseorang di
antara kamu melakukan shalat,
janganlah ia memandang ke atas
dan jangan pula
menguping..” (HR. Thabarani dan
Hakim)
15.. Bercekikikan
Dari Jabirra.: “Nabi saw
bersabda..: ‘Senyum tidak
membatalkan shalat, tetapi
bercekikikan memutuskan
(pahala) shalat.” (HR. Baihaqi dan
Al-Khatib)
16. Berbicara
Dari Zaid bin Arqam, katanya:
“Kami pernah berbincang-
bincang ketika shalat. Orang lain
di antara kami juga berbincang-
bincang dengan orang yang
disampingnya ketika shalat,
sehingga turunlah ayat
‘waqumuu lillaahi qaanitiin’ (dan
shalatlah kamu karena Allah
dengan taat), lalu kami
diperintahkan untuk diam dan
dilarang berbincang-
bincang.” (HR Jama’ah kecuali
Ibnu Majah)
Dari ‘Abdullah (binMas’ud), ia
berkata: “Kamidahulu biasa
bercakap-cakap ketika shalat.
Saya datang kepada Rasullullah,
lalu memberi salam kepadanya,
tetapi beliau tidak menjawabnya
dan menahanku supaya tidak
maju dan tidak berbicara. (selesai
shalat) Rasullullah
bersabda:’Sesungguhnya Allah
berbicara kepada NabiNya
menurut kehendakNya’” –
Syu’bah berkata: “Saya kira beliau
bersabda: ‘ Dengan apa yang
dikehendaki-Nya- dan diantara
yang Allah katakan kepada Nabi-
Nya saw (ialah): janganlah kamu
berbicara ketika shalat.’” (HR
Ahmad)
17. Menguap dengan bersuara
Dari Abu Hurairah, ia berkata:
“Nabi saw bersabda: ‘Bila
seseorang diantara kamu
menguap ketika shalat
hendaklah ia tutup mulutnya
sedapat-dapatnya dan janganlah
ia menyuarakan ‘aah’ karena
suara tersebut menyebabkan
setan akan
mentertawainya.’” (HR. Bukhari)
18. Menutup mulut
Dari Abu Hurairah ra: “Nabi
melarang seseorang
menjulurkan kain ke tanah dan
menutup mulutnya dalam
shalat.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu
Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim)
Orang yang menutup mulutnya
ketika shalat, baik dengan
tangan maupun dengan kain dan
sebagainya, bukan karena
menguap berarti telah
melakukan perbuatan dosa.
19. Meludah ke kanan atau ke
kiri
Dari Anas, ia berkata: “Telah
bersabda Rasullulah
saw:’Seseorang yang sedang
shalat sesungguhnya sedang
bermunajat kepada Tuhannya.
Oleh karena itu, janganlah sekali-
kali ia membuang ludah di
hadapannya dan jangan pula
dikanannya, tetapi (ia boleh
meludah) ke bawah kaki
kirinya.’” (HR Bukhari dan
Muslim) pada riwayat lain
(disebutkan): “Atau (boleh
meludah) ke bawah telapak
kakinya.”
20. Mengangkat tangan untuk
takbir melebihi daun telinga
Dari Hakam bin ‘Umair ra.;
‘Rasullullah saw pernah
mengajarkan kepada kami:’Jika
kamu berdiri untuk shalat,
angkatlah kedua tanganmu dan
janganlah melebihi telinga,
kemudian ucapkanlah allahu
akbar, subhaanakallaahumma wa
bihamdika wa ta’aalaa jadduka
wa laa ilaaha ghairuk (maha
besar Allah, Maha suci Engkau ya
Allah, dan dengan segenap rasa
syukur kepada-Mu, Mahatinggi
kemuliaan-Mu, tiada Tuhan selain
Engkau); dan jika kamu tidak
menambah bacaan ini, hal itu
sudah cukup bagi kamu.” (HR.
Thabarani)
21. Berkacak pinggang
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya
Nabi saw melarang berkacak
pinggang ketika shalat (HR.
Jama’ah kecuali Ibnu Majah)
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya
Rasullullah saw
bersabda:”Berkacak pinggang
pada waktu shalat adalah
perbuatan penghuni neraka
(Yahudi dan Nasrani)” (HR Ibnu
Hibban)
22. Menjalin (menganyam) jari-
jari tangan
Dari Sa’ad bin Ishaq bin Ka’ab bin
‘ujrah, dari bapaknya, dari
neneknya: ” Nabi saw bersabda: ‘
seseorang yang telah bersuci di
rumahnya, kemudian keluar
semata-mata untuk melakukkan
shalat berada dalam keadaan
shalat sampai selesai shalatnya.
Oleh karena itu, janganlah
seseorang diantara kamu
menjalin (menganyam) jari-jari
tangannya ketika shalat.’” (HR.
Thabarani)
23. Tergesa-gesa dalam ruku’
dan sujud
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata:
“Rasulullah saw bersabda: ‘Orang
yang paling jahat dalam
melakukan pencurian adalah
orang yang mencuri
shalatnya.’ (Abu Hurairah)
bertanya: ‘Bagaimana orang
yang mencuri shalatnya itu ?
Sabdanya: ‘Yaitu orang yang
tidak menyempurnakan ruku’
dan sujudnya.” (HR Ibnu Hibban)
Dari ‘Ubadah bin Shamit ra., Nabi
saw bersabda: “Jika seseorang
menyempurnakan shalatnya, lalu
ia sempurnakan ruku’ dan
sujudnya, (pada hari kiamat)
shalatnya akan berkata: ‘Mudah-
mudahan Allah memelihara kamu
seperti kamu memelihara aku,
sehingga (martabatmu)
dinaikkan. ‘Akan tetapi, jika ia
melakukan shalat dengan jelek,
yaitu tidak menyempurnakan
ruku’ dan sujudnya, shalatnya
akan berkata: ‘ Mudah-mudahan
Allah menelantarkan kamu
seperti kamu mehnelantarkan
aku.Selanjutnya shalat itu dilipat
seperti kain lapuk yang dilipat,
lalu dipukulkan ke
wajahnya.” (HR. Thayalisi)
24. Tidak membaca ayat Al-
Qur’an pada waktu ruku’ dan
sujud
Nabi melarang membaca Al-
Qur’an dalam ruku’ dan sujud
(HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
Dari Ibrahim bin ‘Abdullah bin
Hunain, sesungguhnya bapaknya
bercerita kepadanya bahwa ia
pernah mendengar ‘Ali bin Abi
Thalib berkata: “Rasullullah saw
melarang aku membaca (al-
Qur’an) pada waktu ruku’ dan
sujud.” (HR. Ahmad dan Ibnu
Hibban)
25. Tidak meluruskan punggung
waktu ruku’ dan sujud
Dari Abu Mas’ud ra : “Nabi saw
bersabda: ‘Tidak sempurna
shalat seseorang yang tidak
meluruskan tulang punggungnya
ketika ruku’ atau sujud.” (HR.
Ahmad, Nasa’I, Ibnu Majah dan
Tirmidzi)
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin
Syaiban Al-Hanafi, dari bapaknya-
dia adalah salah seorang dari
enam utusan (yang datang
kepada nabi)-ia berkata: ” Kami
datang kepada Rasulullah saw,
lalu kami shalat bersama beliau,
kemudian ada seorang laki-laki
yang terlihat oleh beliau,
kemudian ada seorang laki-laki
yang terlihat oleh beliau tidak
meluruskan tulang punggungnya
ketika ruku’ dan sujud.(beliau)
bersabda: ‘Sesungguhnya tidak
sempurna shalat seseorang yang
tidak meluruskan tulang
punggungnya.” (HR. Ibnu
Hibban)
26. Membungkuk ketika sujud
Dari Ibunu ‘Amr ra.: “Nabi saw
bersabda: ‘ Hendaklah kamu
melakukan sujud dengan lapang
dan janganlah kamu
membungkukkan punggung
kamu seperti membungkuknya
hewan.” (HR. Dailami)
27. Kening terhalang
Dari Ibnu ‘Abbas: “Sesungguhnya
Nabi saw bersabda: ‘Saya
diperintahkan bersujud dengan
tujuh (anggota badan) dan aku
tidak boleh merintanginya
dengan rambut atau kain.’ ” (HR.
Ibnu Hibban)
28. Menempelkan lengan ke
tanah waktu sujud
Dari Anas sesungguhnya Nabi
saw bersabda: “Luruskanlah
kamu dalam sujud dan janganlah
salah seorang di antara kamu
menempelkan kedua lengannya
(di tanah) seperti anjing.” (HR.
Jama’ah)
29. Meniup
Dari Zaid bin Tsabit ra: “Nabi saw
melarang meniup ketika hendak
sujud dan meniup ketika
minum.” (HR. Thabarani)
Ketika sujud dilarang meniup
meskipun untuk membersihkan
tempat sujudnyadari sesuatu
yang mengganggu.
30. Mengusap pasir yang
menempel pada kening
Dari Watsilah ra : “Nabi saw
bersabda: ‘Seseorang tidak boleh
mengusap pasir di keningnya
sampai ia selesai shalatnya. Akan
tetapi, ia boleh mengusap
keringat dari kedua pelipisnya
karena malaikat akan
memintakan rahmat untuknya
selama belas sujud masih ada di
antara kedua matanya.’” (HR
Thabarani dan Al-Khatib)
31. Menjepit kedua telapak
tangan dengan paha / lutut
waktu ruku’ atau duduk
diantara sujud.
Dari Abu Ya’fur, ia berkata: “Saya
mendengar Mush’ab bin Sa’ad
bin Abi Waqqash berkata: ‘Aku
pernah shalat di samping
bapakku, lalu kedua telapak
tanganku aku jepit dengan
kedua pahaku dan aku dilarang
berbuat demikian. Ia berkata:
Dahulu kami berbuat seperti itu,
lalu kami dilarang melakukannya
dan kami diperintah meletakkan
telapak tangan pada lutut.” (HR..
Ibnu Hibban)
Dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi
Waqqash , ia berkata: “Aku
dahulu kalau shalat kedua
telapak tanganku kujepitkan
pada kedua lutut, kemudian
bapakku (Sa’ad) melihatku
(berbuat demikian), lalu ia
berkata:’Dahulu kami pernah
berbuat demikian, tetapi kami
dilarang melakukannya seperti
itu dan kami diperintahkan
(meletakkannya) pada lutut.” (HR
Ibnu Hibban)
32. Bertopang dengan Tangan
kiri
Dari Ibnu ‘Umar ra.: “Nabi saw
melarang seseorang bertopang
pada tangan kirinya ketika
duduk dalam shalat. Beliau
bersabda: ‘Cara seperti itu adalah
cara shalat orang Yahudi.” (HR
Hakim dan Baihaqi)
33. Duduk di atas tumit
Dari ‘Ali ra : ” Nabi bersabda:
‘Janganlah kamu duduk di atas
tumit ketika duduk antara dua
sujud.’ ” (HR Ibnu Majah)
Dari Samurah ra: “Nabi saw
melarang duduk di atas tumit
dalam shalat.” (HR. Hakim dan
Baihaqi)
Dari Abu Hurairah, katanya:
“Rasulullah saw melarangku
melakukan tiga perkara, yaitu
mematuk sepertimematuknya
ayam jantan; duduk di atas tumit
seperti duduknya anjing; dan
seperti menolehnya
musang.” (HR Ahmad)
34. Membersihkan pasir
Dari ‘Ali bin ‘Abdurrahman Al-
Mu’awi, sesungguhnya ia
berkata: “Ibnu ‘Umar melihat
saya ketika saya membersihkan
pasir saat melakukan shalat.
Tatkala selesai shalat ia
melarangku dan berkata:
‘Lakukanlah (shalat)
sebagaimana yang Rasulullah
saw lakukan. ‘Ia berkata: ‘Bila
beliau duduk dalam shalat, beliau
letakkan telapak tangan
kanannya pada paha kanannya
dan ia genggam semua jari-
jarinya dan ia acungkan jari
sebelah ibu jarinya (telunjuk) dan
beliau letakkan telapak tangan
kirinya pada paha kirinya. ‘” (HR
Ibnu Hibban)
Dari Mu’aiqib, dari Nabi saw.,
beliau bersabda – tentang
masalah seseorang meratakan
debu ketika ia hendak sujud: ”
Jika engkau memang mau
berbuat demikian, berbuatlah
sekali saja.” (HR Jama’ah)
35. Duduk istirahat dengan
menegakkan jari-jari kaki
Dari Samurah ra : “(Rasulullah)
saw telah menyuruh kami jika
kami melakukan shalat, ketika
kami mengangkat kepala kami
dari sujud supaya kami duduk
dengan tenang di tempatnya
(seperti duduk pada tahiyyat
awal) dan melarang duduk
dengan menegakkan jari-jari
kaki.” (HR Hakim dan Thabarani)
36. Membalikkan tangan
Dari Jabir bin Samurah, ia
berkata: ” Dahulu ketika kami
shalat bersama Rasulullah ada
salah seorang di antara kami
membalikkan telapak tangannya
yang kanan atau yang kiri
(sambil mengucapkan salam), lalu
Rasulullah saw bersabda:
‘Mengapa aku lihat kamu sekalian
membalikkan tangan kamu
seperti ekor kuda larat ?
Tidakkah cukup seseorang di
antara kamu tetap meletakkan
tangannya pada pahanya,
kemudian ia memberi salam
kepada (saudaranya) yang ada di
sebelah kanannya dan yang ada
disebelah kirinya ” (HR Ibnu
Hibban)

Jumat, 19 Agustus 2011

tingkatan hadist..

I. Hadits Shahih
I.1 Definisi Hadits Shahih
kata Shahih ((ﺍﻟﺼﺤﻴﺦ dalam
bahasa diartikan orang sehat
antonim dari kata as-saqim
( ( ﺍﻟﺴﻘﻴﻢ= orang yang sakit jadi
yang dimaksud hadits shahih
adalah hadits yang sehat dan
benar tidak terdapat penyakit dan
cacat.
ﻫﻮ ﻣﺎ ﺍﺗﺼﻞ ﺳﻨﺪﻩ ﺑﻨﻜﻞ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ
ﺿﺒﻄﺎ ﻛﺎﻣﻼ ﻋﻦ ﻣﺜﻠﻪ ﻭﺧﻼ ﻣﻤﻦ ﺍﻟﺸﺬﻭﺫ
ﻭ ﺍﻟﻌﻠﺔ
hadis yang muttasil (bersambung)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang
adil dan dhobith(kuat daya
ingatan) sempurna dari
sesamanya, selamat dari
kejanggalan (syadz), dan cacat
(‘ilat).
Imam Al-Suyuti mendifinisikan
hadis shahih dengan “hadis yang
bersambung sanadnya,
dfiriwayatkan oleh perowi yang
adil dan dhobit, tidak syadz dan
tidak ber’ilat”.
Defisi hadis shahih secara konkrit
baru muncul setelah Imam Syafi’i
memberikan penjelasan tentang
riwayat yang dapat dijadikan
hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh
para perowi yang dapat dipercaya
pengamalan agamanya, dikenal
sebagai orang yang jujur
mermahami hadis yang
diriwayatkan dengan baik,
mengetahui perubahan arti hadis
bila terjadi perubahan lafadnya;
mampu meriwayatkan hadis
secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan
hadis secara lafad, bunyi hadis
yang Dia riwayatkan sama dengan
hadis yang diriwayatkan orang lain
dan terlepas dari tadlis
(penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya
bersambung sampai kepada Nabi
SAW. atau dapat juga tidak sampai
kepada Nabi.
Imam Bukhori dan Imam Muslim
membuat kriteria hadis shahih
sebagai berikut:
1) Rangkaian perawi dalam
sanad itu harus bersambung mulai
dari perowi pertama sampai perowi
terakhir.
2) Para perowinya harus terdiri
dari orang-orang yang dikenal
siqat, dalam arti adil dan dhobith,
3) Hadisnya terhindar dari ‘ilat
(cacat) dan syadz (janggal), dan
4) Para perowi yang terdekat
dalam sanad harus sejaman.
I.2 Syarat-Syarat Hadis Shahih
Berdasarkan definisi hadis shahih
diatas, dapat dipahami bahwa
syarat-syarat hadis shahih dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi
dari perowi lainnya benar-benar
mengambil secara langsung dari
orang yang ditanyanya, dari sejak
awal hingga akhir sanadnya.
Untuk mengetahui dan
bersambungnya dan tidaknya
suatu sanad, biasanya ulama’ hadis
menempuh tata kerja sebagai
berikut;
1. Mencatat semua periwayat yang
diteliti,
2. Mempelajari hidup masing-masing
periwayat,
3. Meneliti kata-kata yang
berhubungan antara para
periwayat dengan periwayat
yang terdekat dalam sanad,
yakni apakah kata-kata yang
terpakai berupa haddasani,
haddasani, akhbarana, akhbarani,
‘an,anna, atau kasta-kata lainnya.
b. Perawinya Bersifat Adil
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi
itu seorang Muslim, bersetatus
Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan
tidak pula jelek prilakunya.
Dalam menilai keadilan seorang
periwayat cukup dilakuakan
dengan salah satu teknik berikut:
1. keterangan seseorang atau
beberapa ulama ahli ta’dil bahwa
seorang itu bersifat adil,
sebagaimana yang disebutkan
dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
2. ketenaran seseorang bahwa ia
bersifast adil, sdeperti imam empat
Hanafi,Maliki, Asy-Syafi’i, dan
Hambali.
khusus mengenai perawi hadis
pada tingkat sahabat, jumhur
ulama sepakat bahwa seluruh
sahabat adalah adil. Pandangan
berbeda datang dari golongan
muktazilah yang menilai bahwa
sahabat yang terlibat dalam
pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq,
dan periwayatannya pun ditolak.
c. Perowinya Bersifat Dhobith
Maksudnya masing-masing
perowinya sempurna daya
ingatannya, baik berupa kuat
ingatan dalam dada maupun
dalam kitab (tulisan).
Dhobith dalam dada ialah
terpelihara periwayatan dalam
ingatan, sejak ia maneriama hadis
sampai meriwayatkannya kepada
orang lain, sedang, dhobith dalam
kitab ialah terpeliharanya
kebenaran suatu periwayatan
melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhobitan
perowi, nmenurut para ulama,
dapat diketahui melalui:
1. kesaksian para ulama
2. berdasarkan kesesuaian
riwayatannya dengan riwayat dari
orang lain yang telah dikenal
kedhobithannya.
d. Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu benar-
benar tidak syadz, dalam arti
bertentangan atau menyalesihi
orang yang terpercaya dan
lainnya.
Menurut al-Syafi’i, suatu hadis tidak
dinyastakan sebagai mengandung
syudzudz, bila hadis itu hanya
diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang tsiqah, sedang
periwayat yang tsiqah lainnya
tidak meriwayatkan hadis itu.
Artinya, suatu hadis dinyatakan
syudzudz, bila hadisd yang
diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang tsiqah tersebut
bertentengan dengan hadis yang
dirirwayatkan oleh banyak
periwayat yang juga bersifat
tsiqah.
e. Tidak Ber’ilat
Maksudnya ialah hadis itu tidak
ada cacatnya, dalam arti adanya
sebab yang menutup tersembunyi
yang dapat menciderai pada ke-
shahih-an hadis, sementara
dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad
mapun pada matan atau pada
keduanya secara bersama-sama.
Namun demikian, ‘illat yang paling
banyak terjadi adalah pada sanad,
seperti menyebutkan muttasil
terhadap hadis yang munqati’ atau
mursal.
I.3. Pembagian Hadis Shahih
Para ahli hadis membagi hadis
shahih kepada dua bagian, yaitu
shahih li-dzati dan shahih li-ghoirih.
perbedaan antara keduanya
terletak pada segi hafalan atau
ingatan perowinya. pada shahih li-
dzatih, ingatan perowinya
sempurna, sedang pada hadis
shahih li-ghoirih, ingatan perowinya
kurang sempurna.
a.Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat
lima tersebut benar-benar telah
terbukti adanya,bukan dia itu
terputus tetapi shahih dalam
hakikat masalahnya, karena
bolehnya salah dan khilaf bagi
orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut
tidak terbukti adanya lima syarat
hadis shahih tersebut baik
keseluruhan atau sebagian. Bukan
berarti sama sekali dusta,
mengingat bolehnya berlaku bagi
orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis
hasan li-dzatihi apabila
diriwayatkan melamui jalan yang
lain oleh perowi yang sama
kualitasnya atau yang lebih kuat
dari padanya.
I.4 Kehujahan Hadis Shahih
Hadis yang telah memenuhi
persyaratan hadis shahih wajib
diamalkan sebagai hujah atau dalil
syara’ sesuai ijma’ para uluma
hadis dan sebagian ulama ushul
dan fikih. Kesepakatan ini terjadi
dalam soal-soal yang berkaitan
dengan penetapan halal atau
haramnya sesuatu, tidak dalam
hal-hal yang berhubungan dengan
aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan
dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-
Quran dan hadis mutawatir. oleh
karena itu, hadis ahad tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan
persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan aqidah.
I.5 Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat
hadis shahih itu tergantung tinggi
dan rendahnya kepada ke-dhabit-
an dan keadilan para perowinya.
Berdasarkan martabat seperti ini,
para muhadisin membagi tingkatan
sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu
rangkaian sanad yang paling tinggi
derajatnya. seperti periwayatan
sanad dari Imam Malik bin Anas
dari Nafi’ mawla (mawla = budak
yang telah dimerdekakan) dari
Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu
rangkaian sanad hadis yang yang
tingkatannya dibawash tingkat
pertama diatas. Seperti
periwayatan sanad dari Hammad
bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu
rangkaian sanad hadis yang
tingkatannya lebih rendah dari
tingkatan kedua. seperti
periwayatan Suhail bin Abu Shalih
dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang
terpenuhi dapat dibagi menjadi
tujuh tingkatan, yang secara
berurutan sebagai berikut:
a) Hadis yang disepakati oleh
bukhari dan muslim (muttafaq
‘alaih),
b) Hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhori saja,
c) Hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim saja,
d) Hadis yang diriwayatkan
orang lain memenuhi persyaratan
AL-Bukhari dan Muslim,
e) Hadis yang diriwayatkan
orang lain memenuhi persyaratan
Al-Bukhari saja,
f) Hadis yang diriwayatkan
orang lain memenuhi persyaratan
Muslim saja,
g) Hadis yang dinilai shahih
menurut ilama hadis selain Al-
Bukhari dan Muslim dan tidak
mengikuti persyratan keduanya,
seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang
menghimpun hadis shahih secara
berurutan sebagai berikut:
1. Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2. Shahih Muslim (w. 261 H).
3. Shahih Ibnu Khuzaimah (w.
311 H).
4. Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5. Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6. Shahih Ibn As-Sakan.
7. Shahih Al-Abani.
II. HADIS HASAN
II.1 Pengertian Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-
jamal, yaitu indah. Hasan juga
dapat juga berarti sesuatu sesuatu
yang disenangi dan dicondongi oleh
nafsu. Sedangkan para ulama
berbeda pendapat dalam
mendefinisikan hadis hasan karena
melihat bahwa ia meupakan
pertengahan antara hadis shahih
dan hadis dha’if, dan juga karena
sebagian ulama mendefinisikan
sebagai salah satu bagiannya.
Sebagian dari definisinya yaitu:
1. definisi al- Chatabi: adalah hadis
yang diketahui tempat keluarnya,
dan telah mashur rawi-rawi
sanadnya, dan kepadanya tempat
berputar kebanyakan hadis, dan
yang diterima kebanyakan ulama,
dan yang dipakai oleh umumnya
fukoha’
2. definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis
yang diriwayatkan, dimana dalam
sanadnya tidak ada yang dituduh
berdusta, serta tidak ada syadz
(kejangalan), dan diriwatkan dari
selain jalan sepereti demikian,
maka dia menurut kami adalah
hadis hasan.
3. definisi Ibnu Hajar: beliau berkata,
adalah hadis ahad yang
diriwayatkan oleh yang adil,
sempurna ke-dhabit-annya,
bersanbung sanadnya, tidak cacat,
dan tidak syadz (janggal) maka dia
adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu
jika ringan ke-dhabit-annya maka
dia adalah hadis hasan li dszatihi.
Kriteria hadis hasan sama dengan
kriteria hadis shahih. Perbedaannya
hanya terletak pada sisi ke-dhabit-
annya. yaitu hadis shahih lebih
sempurna ke-dhabit-annya
dibandingkan dengan hadis hasan.
Tetapi jika dibandingkan dengan
ke-dhabit-an perawi hadis dha’if
tentu belum seimbang, ke-dhabit-
an perawi hadis hasan lebih unggul.
II.2 Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang
terbagi menjadi dua macam, hadis
hasasn pun terbagi menjadi dua
macam, yaitu hasan li-dzatih dan
hasan li-ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis
yang telah memenuhi persyaratan
hadis hasan yang telah ditentukan.
pengertian hadis hasan li-dzatih
sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi
persyaratan secara sempurna.
dengan kata lain, hadis tersebut
pada dasarnya adalah hadis dha’if,
akan tetapi karena adanya sanad
atau matan lain yang
menguatkannya (syahid atau
muttabi’), maka kedudukan hadis
dha’if tersebut naik derajatnya
menjadi hadis hasan li-ghairih.
II.3 Kehujahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya
hadis shahih, meskipun derajatnya
dibawah hadis shahih, adalah hadis
yang dapat diterima dan
dipergunakan sebagai dalil atau
hujjah dalam menetapkan suatu
hukum atau dalam beramal.
Paraulama hadis, ulama ushul fiqih,
dan fuqaha sepakat tentang
kehujjahan hadis hasan.
III. HADIST DHAIF
III.1 Definisi Hadist Dhaif
Pengertian hadits dhaif Secara
bahasa, hadits dhaif berarti hadits
yang lemah. Para ulama memiliki
dugaan kecil bahwa hadits tersebut
berasal dari Rasulullah SAW.
Dugaan kuat mereka hadits
tersebut tidak berasal dari
Rasulullah SAW. Adapun para
ulama memberikan batasan bagi
hadits dhaif sebagai berikut : “
Hadits dhaif ialah hadits yang tidak
memuat / menghimpun sifat-sifat
hadits shahih, dan tidak pula
menghimpun sifat-sifat hadits
hasan”.
III.2 Macam-macam hadits dhaif
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu : hadits
dhaif karena gugurnya rawi dalam
sanadnya, dan hadits dhaif karena
adanya cacat pada rawi atau
matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya
rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya
rawi adalah tidak adanya satu atau
beberapa rawi, yang seharusnya
ada dalam suatu sanad, baik pada
permulaan sanad, maupun pada
pertengahan atau akhirnya. Ada
beberapa nama bagi hadits dhaif
yang disebabkan karena gugurnya
rawi, antara lain yaitu :
1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa,
berarti hadits yang terlepas. Para
ulama memberikan batasan bahwa
hadits mursal adalah hadits yang
gugur rawinya di akhir sanad. Yang
dimaksud dengan rawi di akhir
sanad ialah rawi pada tingkatan
sahabat yang merupakan orang
pertama yang meriwayatkan
hadits dari Rasulullah SAW.
(penentuan awal dan akhir sanad
adalah dengan melihat dari rawi
yang terdekat dengan imam yang
membukukan hadits, seperti
Bukhari, sampai kepada rawi yang
terdekat dengan Rasulullah). Jadi,
hadits mursal adalah hadits yang
dalam sanadnya tidak
menyebutkan sahabat Nabi,
sebagai rawi yang seharusnya
menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah bersabda, “ Antara kita
dan kaum munafik munafik (ada
batas), yaitu menghadiri jama’ah
isya dan subuh; mereka tidak
sanggup menghadirinya”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Imam Malik, dari Abdurrahman,
dari Harmalah, dan selanjutnya dari
Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat
Nabi yang meriwayatkan hadits itu
kepada Sa’id bin Mustayyab,
tidaklah disebutkan dalam sanad
hadits di atas.
Kebanyakan Ulama memandang
hadits mursal ini sebagai hadits
dhaif, karena itu tidak bisa diterima
sebagai hujjah atau landasan
dalam beramal. Namun, sebagian
kecil ulama termasuk Abu Hanifah,
Malik bin Anas, dan Ahmad bin
Hanbal, dapat menerima hadits
mursal menjadi hujjah asalkan para
rawi bersifat adil.
2) Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut
etimologi ialah hadits yang
terputus. Para ulama memberi
batasan bahwa hadits munqathi’
adalah hadits yang gugur satu atau
dua orang rawi tanpa beriringan
menjelang akhir sanadnya. Bila
rawi di akhir sanad adalah sahabat
Nabi, maka rawi menjelang akhir
sanad adalah tabi’in. Jadi, pada
hadits munqathi’ bukanlah rawi di
tingkat sahabat yang gugur, tetapi
minimal gugur seorang tabi’in. Bila
dua rawi yang gugur, maka kedua
rawi tersebut tidak beriringan, dan
salah satu dari dua rawi yang
gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :
Rasulullah SAW. bila masuk ke
dalam mesjid, membaca “dengan
nama Allah, dan sejahtera atas
Rasulullah; Ya Allah, ampunilah
dosaku dan bukakanlah bagiku
segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali
Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim,
dari Laits, dari Abdullah bin Hasan,
dari Fatimah binti Al-Husain, dan
selanjutnya dari Fathimah Az-
Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits
di atas adalah hadits munqathi’,
karena Fathimah Az-Zahra (putri
Rasul) tidak berjumpa dengan
Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada
rawi yang gugur (tidak disebutkan)
pada tingkatan tabi’in.
3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal
adalah hadits yang sulit dipahami.
Batasan yang diberikan para ulama
bahwa hadits mu’dhal adalah
hadits yang gugur dua orang
rawinya, atau lebih, secara
beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam
Malik mengenai hak hamba, dalam
kitabnya “Al-Muwatha” yang
berbunyi : Imam Malik berkata :
Telah sampai kepadaku, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
Artinya :
Budak itu harus diberi makanan
dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik
tersebut, tidak memaparkan dua
orang rawi yang beriringan antara
dia dengan Abu Hurairah. Kedua
rawi yang gugur itu dapat
diketahui melalui riwayat Imam
Malik di luar kitab Al-Muwatha.
Imam Malik meriwayatkan hadits
yang sama : Dari Muhammad bin
Ajlan , dari ayahnya, dari Abu
Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi
yang gugur adalah Muhammad bin
Ajlan dan ayahnya.
4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq
berarti hadits yang tergantung.
Batasan para ulama tentang hadits
ini ialah hadits yang gugur satu
rawi atau lebih di awal sanad atau
bisa juga bila semua rawinya
digugurkan ( tidak disebutkan ).
Contoh :
Bukhari berkata : Kata Malik, dari
Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu
Huraira, bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
Artinya :
Janganlah kamu melebihkan
sebagian nabi dengan sebagian
yang lain.
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia
sebenarnya tidak pernah bertemu
dengan Malik. Dengan demikian,
Bukhari telah menggugurkan satu
rawi di awal sanad tersebut. Pada
umumnya, yang termasuk dalam
kategori hadits mu’allaq
tingkatannya adalah dhaif, kecuali
1341 buah hadits muallaq yang
terdapat dalam kitab Shahih
Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap
dipandang shahih, karena Bukhari
bukanlah seorang mudallis ( yang
menyembunyikan cacat hadits ).
Dan sebagian besar dari hadits
mu’allaqnya itu disebutkan seluruh
rawinya secara lengkap pada
tempat lain dalam kiab itu juga.
b. Hadits dhaif karena cacat
pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat
menimpa rawi ataupun matan.
Seperti pendusta, fasiq, tidak
dikenal, dan berbuat bid’ah yang
masing-masing dapat
menghilangkan sifat adil pada rawi.
Sering keliru, banyak waham,
hafalan yang buruk, atau lalai
dalam mengusahakan hafalannya,
dan menyalahi rawi-rawi yang
dipercaya. Ini dapat
menghilangkan sifat dhabith pada
perawi. Adapun cacat pada matan,
misalkan terdapat sisipan di
tengah-tengah lafadz hadits atau
diputarbalikkan sehingga memberi
pengertian yang berbeda dari
maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena
cacat pada matan atau rawi :
1) Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki
pengertian hadits palsu atau
dibuat-buat. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadis
maudhu’ ialah hadits yang bukan
berasal dari Rasulullah SAW. Akan
tetapi disandarkan kepada dirinya.
Golongan-golongan pembuat hadits
palsu yakni musuh-musuh Islam
dan tersebar pada abad-abad
permulaan sejarah umat Islam,
yakni kaum yahudi dan nashrani,
orang-orang munafik, zindiq, atau
sangat fanatic terhadap golongan
politiknya, mazhabnya, atau
kebangsaannya .
Hadits maudhu’ merupakan
seburuk-buruk hadits dhaif.
Peringatan Rasulullah SAW
terhadap orang yang berdusta
dengan hadits dhaif serta
menjadikan Rasul SAW sebagai
sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja
berdusta terhadap diriku, maka
hendaklah ia menduduki tempat
duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa
contoh hadits maudhu’:
a) Hadits yang dikarang oleh
Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam;
ia katakana bahwa hadits itu
diterima dari ayahnya, dari
kakeknya, dan selanjutnya dari
Rasulullah SAW. berbunyi :
“Sesungguhnya bahtera Nuh
bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh
kali dan shalat di maqam Ibrahim
dua rakaat” Makna hadits tersebut
tidak masuk akal.
b) adapun hadits lainnya :
“anak zina itu tidak masuk surga
tujuh turunan”. Hadits tersebut
bertentangan dengan Al-Qur’an. ”
Pemikul dosa itu tidaklah memikul
dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )
c) “Siapa yang memperoleh
anak dan dinamakannya
Muhammad, maka ia dan anaknya
itu masuk surga”. “orang yang
dapat dipercaya itu hanya tiga,
yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril,
dan Muawiyah”.
Demikianlah sedikit uraian
mengenai hadits maudhu’. Masih
banyak hadits-hadits lainnya yang
sengaja dibuat oleh pihak kufar.
Sedikit sejarah, berdasarkan
pengakuan dari mereka yang
memalsukan, seperti Maisarah bin
Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia
mengaku telah membuat
beberapa hadits tentang
keutamaan Al-Qur’an dan 70 buah
hadits tentang keutamaan Ali bin
Abi Thalib. Abdul Karim, seorang
zindiq, sebelum dihukum pancung
ia telah memalsukan hadits dan
mengatakan : “aku telah membuat
3000 hadits; aku halalkan barang
yang haram dan aku haramkan
barang yang halal”.
2) Hadits matruk atau hadits
mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti
hadits yang ditinggalkan / dibuang.
Para ulama memberikan batasan
bahwa hadits matruk adalah hadits
yang diriwayatkan oleh orang-
orang yang pernah dituduh
berdusta ( baik berkenaan dengan
hadits ataupun mengenai urusan
lain ), atau pernah melakukan
maksiat, lalai, atau banyak
wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah
Saw bersabda, sekiranya tidak ada
wanita, tentu Allah dita’ati dengan
sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim
dengan sanad yang terdiri dari
serentetan rawi-rawi, seperti :
Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin
Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan
ayahnya, Said bin mutstayyab, dan
Umar bin Khaththab. Diantara
nama-nama dalam sanad tersebut,
ternyata Abdur Rahim dan
ayahnya pernah tertuduh
berdusta. Oleh karena itu, hadits
tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa
berarti hadits yang diingkari atau
tidak dikenal. Batasan yang
diberikan para ‘ulama bahwa hadits
munkar ialah hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang lemah
dan menyalahi perawi yang kuat,
contoh :
Artinya: “Barangsiapa yang
mendirikan shalat, membayarkan
zakat, mengerjakan haji, dan
menghormati tamu, niscaya masuk
surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi
yang lemah dan matannya pun
berlainan dengan matan-matan
hadits yang lebih kuat.
4) Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal
berarti hadits yang terkena illat .
Para ulama memberi batasan
bahwa hadits ini adalah hadits
yang mengandung sebab-sebab
tersembunyi , dan illat yang
menjatuhkan itu bisa terdapat
pada sanad, matan, ataupun
keduanya. Contoh :
Rasulullah bersabda, “penjual dan
pembeli boleh berkhiyar, selama
mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Ya’la bin Ubaid dengan bersanad
pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru
bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu
umar. Matan hadits ini sebenarnya
shahih, namun setelah diteliti
dengan seksama, sanadnya
memiliki illat. Yang seharusnya dari
Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru
bin Dinar.
5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian
hadits yang dimasuki sisipan, yang
sebenarnya bukan bagian dari
hadits itu. Contoh :
Rasulullah bersabda : “Saya adalah
za’im ( dan za’im itu adah
penanggung jawab ) bagi orang
yang beriman kepadaku, dan
berhijrah; dengan tempat tinggal di
taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut
adalah sisipan ( dengan tempat
tinggal di taman surga ), karena
tidak termasuk sabda Rasulullah
SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits
yang diputarbalikkan. Para ulama
menerangkan bahwa terjadi
pemutarbalikkan pada matannya
atau pada nama rawi dalam
sanadnya atau penukaran suatu
sanad untuk matan yang lain.
Contoh :
Rasulullah SAW bersabda : Apabila
aku menyuruh kamu mengerjakan
sesuatu, maka kerjakanlah dia;
apabila aku melarang kamu dari
sesuatu, maka jauhilah ia sesuai
kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-
Tabrani)
Berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, semestinya hadits tersebut
berbunyi : Rasulullah SAW
bersabda : “Apa yang aku larag
kamu darinya, maka jauhilah ia,
dan apa yang aku suruh kamu
mengerjakannya, maka
kerjakanlah ia sesuai dengan
kesanggupan kamu”.
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti
hadits ayng ganjil. Batasan yang
diberikan para ulama, hadits syadz
adalah hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang dipercaya, tapi
hadits itu berlainan dengan hadits-
hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi yang juga dipercaya.
Haditsnya mengandung keganjilan
dibandingkan dengan hadits-hadits
lain yang kuat. Keganjilan itu bisa
pada sanad, pada matan, ataupun
keduanya.
Contoh :
“Rasulullah bersabda : “Hari arafah
dan hari-hari tasyriq adalah hari-
hari makan dan minum.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Musa bin Ali bin Rabah dengan
sanad yang terdiri dari serentetan
rawi-rawi yang dipercaya, namun
matan hadits tersebut ternyata
ganjil, jika dibandingkan dengan
hadits-hadits lain yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang
juga dipercaya. Pada hadits-hadits
lain tidak dijumpai ungkapan .
Keganjilan hadits di atas terletak
pada adanya ungkapan tersebut,
dan merupakan salah satu contoh
hadits syadz pada matannya.
Lawan dari hadits ini adalah hadits
mahfuzh.
III.3 Kehujahan Hadits dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para
ulama hadits kelas berat semacam
Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani
menyebutkan bahwa hadits dhaif
boleh digunakan, dengan beberapa
syarat:
1. Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits
dhaif itu sangat banyak jenisnya
dan banyak jenjangnya. Dari yang
paling parah sampai yang
mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih
ada di antara hadits dhaif yang
bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan
dalam perkara aqidah dan syariah
(hukum halal haram). Hadits yang
level kedhaifannya tidak terlalu
parah, boleh digunakan untuk
perkara fadahilul a’mal
(keutamaan amal).
1. Berada di bawah Nash Lain yang
Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu
kalau mau dijadikan sebagai dasar
dalam fadhailul a’mal, harus
didampingi dengan hadits lainnya.
Bahkan hadits lainnya itu harus
shahih. Maka tidak boleh hadits
dha’if jadi pokok, tetapi dia harus
berada di bawah nash yang sudah
shahih.
1. Ketika Mengamalkannya, Tidak
Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita
mengamalkan hadits dhaif itu, kita
tidak boleh meyakini 100% bahwa
ini merupakan sabda Rasululah
SAW atau perbuatan beliau. Tetapi
yang kita lakukan adalah bahwa
kita masih menduga atas kepastian
datangnya informasi ini dari
Rasulullah SAW.
Sikap Ulama Terhadap Hadits
Dhaif :
Sebenarnya kalau kita mau jujur
dan objektif, sikap ulama terhadap
hadits dhaif itu sangat beragam.
Setidaknya kami mencatat ada
tiga kelompok besar dengan
pandangan dan hujjah mereka
masing-masing. Dan menariknya,
mereka itu bukan orang
sembarangan. Semuanya adalah
orang-orang besar dalam bidang
ilmu hadits serta para spesialis.
Maka posisi kita bukan untuk
menyalahkan atau menghina salah
satu kelompok itu. Sebab
dibandingkan dengan mereka, kita
ini bukan apa-apanya dalam
konstalasi para ulama hadits.
1) Kalangan Yang Menolak
Mentah-mentah Hadits Dhaif
Namun harus kita akui bahwa di
sebagian kalangan, ada juga pihak-
pihak yang ngotot tetap tidak mau
terima kalau hadits dhaif itu masih
bisa ditolelir.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama
sekali tidak akan dipakai untuk apa
pun juga. Baik masalah keutamaan
(fadhilah), kisah-kisah, nasehat
atau peringatan. Apalagi kalau
sampai masalah hukum dan
aqidah. Pendeknya, tidak ada
tempat buat hadits dhaif di hati
mereka.
Di antara mereka terdapat nama
Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam
Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya
bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya.
Di zaman sekarang ini, ada tokoh
seperti Al-Albani dan para
pengikutnya.
2) Kalangan Yang Menerima
Semua Hadits Dhaif
Jangan salah, ternyata ada juga
kalangan ulama yang tetap
menerima semua hadits dhaif.
Mereka adalah kalangan yang
boleh dibilang mau menerima
secara bulat setiap hadits dhaif,
asal bukan hadits palsu (maudhu’).
Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya
suatu hadits, tetap saja lebih tinggi
derajatnya dari akal manusia dan
logika.
Di antara para ulama yang sering
disebut-sebut termasuk dalam
kelompok ini antara lain Al-Imam
Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab
Hanbali. Mazhab ini banyak dianut
saat ini antara lain di Saudi Arabia.
Selain itu juga ada nama Al-Imam
Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul
Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan
bawa mereka berkata, ‘Bila kami
meriwayatkan hadits masalah halal
dan haram, kami ketatkan. Tapi
bila meriwayatkan masalah
fadhilah dan sejenisnya, kami
longgarkan.”
3) Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan yang
masih mau menerima sebagian
dari hadits yang terbilang dhaif
dengan syarat-syarat tertentu.
Mereka adalah kebanyakan ulama,
para imam mazhab yang empat
serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat yang mereka ajukan
untuk menerima hadits dhaif
antara lain, sebagaimana diwakili
oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga
Al-Imam An-Nawawi
rahimahumalah, adalah:
• Hadits dhaif itu tidak terlalu parah
kedhaifanya. Sedangkan hadits
dha’if yang perawinya sampai ke
tingkat pendusta, atau tertuduh
sebagai pendusta, atau parah
kerancuan hafalannya tetap tidak
bisa diterima.
• Hadits itu punya asal yang
menaungi di bawahnya
• Hadits itu hanya seputar masalah
nasehat, kisah-kisah, atau anjuran
amal tambahan. Bukan dalam
masalah aqidah dan sifat Allah,
juga bukan masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya jangan
disertai keyakinan atas tsubut-nya
hadits itu, melainkan hanya
sekedar berhati-hati.
Semua keterangan di atas, jelas
bukan pendapat kami. Semua itu
adalah pendapat para ulama pakar
ilmu hadits. Kami ini bukan berada
dalam posisi untuk mengkritisi
salah satunya. Sebab beda maqam
dan beda posisi.
BAB III
KESIMPULAN
Pada materi hadits dhaif ini, dapat
kita petik kesimpulan bahwa kajian
ke-islaman itu sangatlah luas.
Menunjukkan betapa maha
kuasanya Allah dalam memberikan
kepahaman terhadap hamba-
hambanya.
ﻭَﺍﻟﻠّﻪُ ﻏَﺎﻟِﺐٌ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﻭَﻟَـﻜِﻦَّ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ
ﻻَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Dan Allah berkuasa terhadap
urusan-Nya, tetapi kebanyakan
manusia tiada
mengetahuinya.” (QS. Yûsuf [12]:
21)
Meskipun ada sebagian kaum
muslimin mengingkari Qur’an dan
Hadits ( terlebih hadits dhaif ),
maka itulah yang perlu kita
luruskan bersama. Karena
sesungguhnya Allah SWT.
berfirman :
“(Dan) kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan
belaka. Sesung- guhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun
berguna untuk mencapai
kebenaran.”(QS Yunus 36).
“Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian. Kecuali orang-
orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh dan
nasehat-menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nesehat-
menasehati supaya menetapi
kebenaran”.(TQS Al-‘Ashr [103] :
1-3)
Terbaginya hadits dhaif dalam dua
bagian; karena gugurnya rawi dan
atau karena cacat pada rawi atau
matan semakin memudahkan kita
untuk mengetahui sebab-sebab
mengapa hadits-hadits menjadi
dhaif, baik dari segi rawinya
( orang yang meriwayatkan ),
sanad, maupun matannya.
Setiap Muslim diperintahkan untuk
memiliki kepribadian Islam
(syakhshiyah islâmiyah).
Kepribadian Islam itu mencakup
cara berpikir islami (’aqliyyah
islâmiyyah) dan pola sikap islami
(nafsiyyah islâmiyah). Dengan
‘aqliyyah islâmiyyah seseorang
dapat mengeluarkan keputusan
hukum tentang benda, perbuatan,
dan peristiwa sesuai dengan
hukum-hukum syariah. Dia dapat
mengetahui mana yang halal dan
mana yang haram serta mana
yang terpuji dan mana yang
tercela berdasarkan syariah Islam.
Melalui ‘aqliyyah islâmiyyah
seorang Muslim juga akan memiliki
kesadaran dan pemikiran yang
matang, mampu menyatakan
ungkapan yang kuat dan tepat,
serta mampu menganalisis
berbagai peristiwa dengan benar.
Namun, ‘aqliyyah islâmiyyah saja
tidak cukup. Banyak ilmu saja tidak
cukup. Tidak jarang, orang pintar
bicara, pandai berdebat tentang
dalil, tetapi apa yang diomongkan
berbeda dengan apa yang
dilakukan.
Karena itu, kepribadian Islam tidak
cukup dengan ‘aqliyyah islâmiyyah
melainkan harus dipadukan
dengan nafsiyyah .
Dengan mengetahui Ilmu Hadits
( di sini lebih dikhususkan hadits
dhaif ), tentu akan membuat
aqliyah kita menjadi semakin
terpacu untuk berpikir dan
menggali pengetahuan secara lebih
mendalam serta dilandasi nafsiyah
( sikap ) keimanan dan ketakwaan
yang mantap, termotivasi untuk
terus mencari dan
mengamalkannya karena
pembahasan dalam makalah ini
hanyalah berisi sebagian kecilnya
saja.
DAFTAR PUSTAKA
Hadits-Ilmu Hadits. Departemen
Agama RI. Jakarta, Oktober 1992.
www. eramuslim.com
Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-
Islâmiyyah : Syekh Taqiuddin An-
Nabhani,HT I Press
http://
ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/
hadits-dhaif.html

hadis hadist pilihan 1

I. Seruan dan
Peringatan Allah Ta'ala :

1. Rasulullah Saw bersabda bahwa
Allah 'Azza wajalla berfirman, "Anak
Adam mendustakan Aku padahal
tidak seharusnya dia berbuat
demikian. Dia mencaci Aku padahal
tidak seharusnya demikian. Adapun
mendustakan Aku adalah dengan
ucapannya bahwa "Allah tidak akan
menghidupkan aku kembali
sebagaimana menciptakan aku
pada permulaan". Ketahuilah bahwa
tiada ciptaan (makhluk) pertama
lebih mudah bagiku daripada
mengulangi ciptaan. Adapun caci-
makinya terhadap Aku ialah dengan
berkata, "Allah mempunyai anak".
Padahal Aku Maha Esa yang
bergantung kepada-Ku segala
sesuatu. Aku tiada beranak dan
tiada pula diperanakkan dan tidak
ada seorangpun setara dengan
Aku." (HR. Bukhari)

2. Dalam hadits Qudsi dijelaskan
bahwa Allah Ta'ala berfirman: "Hai
anak Adam, kamu tidak adil
terhadap-Ku. Aku mengasihimu
dengan kenikmatan-kenikmatan
tetapi kamu membenciKu dengan
berbuat maksiat-maksiat. Kebajikan
kuturunkan kepadamu dan
kejahatan-kejahatanmu naik
kepada-Ku. Selamanya malaikat
yang mulia datang melapor tentang
kamu tiap siang dan malam dengan
amal-amalmu yang buruk. Tetapi
hai anak Adam, jika kamu
mendengar perilakumu dari orang
lain dan kamu tidak tahu siapa yang
disifatkan pasti kamu akan cepat
membencinya." (Ar-Rafii dan Ar-
Rabii').

3. Anak Adam mengganggu Aku,
mencaci-maki jaman (masa), dan
Akulah jaman. Aku yang
menggilirkan malam dan siang. (HR.
Bukhari dan Muslim)

4. Allah Ta'ala berfirman (dalam
hadits Qudsi) : "Kebesaran
(kesombongan atau kecongkakan)
pakaianKu dan keagungan adalah
sarungKu. Barangsiapa merampas
salah satu (dari keduanya) Aku
lempar dia ke neraka
(jahanam)." (HR. Abu Dawud)

5. Berbaik sangka terhadap Allah
termasuk ibadah yang baik. (HR.
Abu Dawud)

6. Allah memiliki sembilan puluh
sembilan nama, seratus kurang satu.
Barangsiapa memperhitungkannya
dia masuk surga. (Artinya,
mengenalnya dan melaksanakan
hak-hak nama-nama itu). ( HR.
Bukhari)

7. Allah 'Azza wajalla berfirman
(hadits Qudsi): "Hai anak Adam, Aku
menyuruhmu tetapi kamu
berpaling, dan Aku melarangmu
tetapi kamu tidak mengindahkan,
dan Aku menutup-nutupi
(kesalahan-kesalahan)mu tetapi
kamu tambah berani, dan Aku
membiarkanmu dan kamu tidak
mempedulikan Aku. Wahai orang
yang esok hari bila diseru oleh
manusia akan menyambutnya, dan
bila diseru oleh Yang Maha Besar
(Allah) dia berpaling dan
mengesampingkan, ketahuilah,
apabila kamu minta Aku
memberimu, jika kamu berdoa
kepada-Ku Aku kabulkan, dan
apabila kamu sakit Aku sembuhkan,
dan jika kamu berserah diri Aku
memberimu rezeki, dan jika kamu
mendatangiKu Aku menerimamu,
dan bila kamu bertaubat Aku
ampuni (dosa-dosa)mu, dan Aku
Maha Penerima Taubat dan Maha
Pengasih." (HR. Tirmidzi dan Al
Hakim)

Minggu, 14 Agustus 2011

Doa dan Dzikir Paling ShahihSaat Berbuka Puasa

Alhamdulillah, segala puji bagi
Allah. Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada baginda
Rasulillah, keluarga dan para
sahabatnya.
Saat berbuka puasa merupakan
saat yang membahagiakan bagi
shaimin. Karena saat itu
kesempatan mereka untuk
menghilangkan haus dan dahaga.
Namun, di tengah kesenangan itu
janganlah lupa akan tuntunan
dalam menyantap hidangan
berbuka, yaitu dzikir atau doa.
Saat akan menyantap hidangan
berbuka hendaknya membaca
basmalah (bismillah):
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
Bismillaah
"Dengan menyebut nama Allah"
Dzikir di atas didasarkan pada
hadits Umar bin Abi Salamah yang
berkata bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah
bersabda kepadanya:
ﻳَﺎ ﻏُﻠَﺎﻡُ ﺳَﻢِّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻛُﻞْ ﺑِﻴَﻤِﻴﻨِﻚَ ﻭَﻛُﻞْ ﻣِﻤَّﺎ
ﻳَﻠِﻴﻚَ
"Wahai anakku, sebutlah nama
Allah, makanlah dengan tangan
kananmu, dan makanlah
makanan yang berada di
dekatmu." (HR Bukhari no. 4957
dan Muslim no. 3767 dari
Maktabah Syamilah)
Dan juga hadits Aisyah radliyallah
'anha, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻛَﻞَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻓَﻠْﻴَﻘُﻞْ ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
"Apabila seorang kalian ingin
makan, hendaknya dia membaca
"bismillah"." (HR. al Tirmidzi dan
Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh al
Albani dalam Shahih Sunan At-
Tirmidzi no. 1513)
Dan jika dahaga telah hilang,
keringnya tenggorokan telah
basah dengan air, dan terasa
nikmatnya berbuka, baru berdoa:
ﺫَﻫَﺐَ ﺍﻟﻈَّﻤَﺄُ ﻭَﺍﺑْﺘَﻠَّﺖْ ﺍﻟْﻌُﺮُﻭﻕُ ﻭَﺛَﺒَﺖَ ﺍﻟْﺄَﺟْﺮُ
ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ
Dzahaba Dzoma’u Wabtallatil
‘Uruuqu Wa Tsabatal Ajru Insya
Allah
Artinya: "Telah hilang rasa dahaga,
dan dan telah basah
kerongkongan, serta telah tetap
pahala insya Allah."
Doa di atas disandarkan pada
hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu
'Anhuma yang menuturkan,
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻓْﻄَﺮَ ﻗَﺎﻝَ ﺫَﻫَﺐَ ﺍﻟﻈَّﻤَﺄُ ﻭَﺍﺑْﺘَﻠَّﺖْ
ﺍﻟْﻌُﺮُﻭﻕُ ﻭَﺛَﺒَﺖَ ﺍﻟْﺄَﺟْﺮُ ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ
"Adalah Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam apabila berbuka
beliau berdoa Dzahaba Dzoma’u
Wabtallatil ‘Uruuqu Wa Tsabatal
Ajru Insya Allah." (HR. Abu Dawud
no. 2357, al-Daruquthni, no. 2242.
Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi
Dawud, no. 2066 menghukuminya
sebagai hadits hasan, al-Imam al-
Daruquthni mengatakan: Isnadnya
hasan,Al-Hakim mengatakan: Ini
hadits shahih, dan Al-Hafidz Ibnul
Hajar mengatakan: Ini hadits
hasan)
Adakah Doa Lainnya?
Doa khusus lainnya yang dibaca
saat berbuka antara lain,
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻟَﻚَ ﺻُﻤْﺖُ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺭِﺯْﻗِﻚَ ﺃَﻓْﻄَﺮْﺕُ
"Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa,
dan atas Rizki-Mu aku
berbuka." (HR. Abu Dawud dari
Mu'adz bin Zuhrah, no. 2011 dari
Maktabah Syamilah. Ibnu Sunni
juga mengeluarkannya dalam
kitabnya “Amalul Yaumi wal
Lailah” dari Ibnu Abbas radhiallahu
anhu no:481, dan Abu Dawud no:
2358 dan dalam sanadnya ada
Abdul Malik bin Harun bin Antarah
dilemahkan oleh Imam Ahmad
dan Ad-Daruquthni. Dan beliau
berkata: Yahya berkata:
demikianlah dia. Abu Hatim
berkata: dia matruk (ditinggalkan).
Ibnu Qayyim berkata dalam Zadul
Ma’ad 2/51: hadits ini tidak benar)
Memang ada sebagian ulama
yang menghukuminya sebagai
hadits hassan. Namun yang lebih
kuat hadits ini berstatus mursal
dan berstatus dhaif sebagaimana
yang diutarakan oleh al-Albani
dalam Dhaif Sunan Abi Dawud, no.
510. Beliau mengatakan: "Hadits
ini lemah sanadnya disamping
karena mursal juga perawinya
Muadz bin Zahrah majhul (tidak
dikenal) Lihat Irwaul Ghalil (4/38)."
Keutamaan Berdoa Saat
Berbuka
Sesungguhnya waktu berbuka
adalah tempat dikabulkannya doa,
karenadi penghujung ibadah.
Sementara doa sesudah selesai
melaksanakan ibadah memiliki
kedudukan agung dalam
timbangan syariat, seperti doa
setelah melaksanakan shalat lima
waktu dan ibadah haji. Apalagi
saat usai melaksanakan puasa,
yang saat itu seseorang dalam
kondisi yang lemah. Dan kondisi
yang sangat lemah, di tambah hati
yanglembut, akan lebih
menguatkan untuk datang dan
berharap kepada Allah 'Azza wa
Jalla.
Bagi orang yang berpuasa
dianjurkan untuk banyak berdoa
di tengah-tengah pelaksanaan
shiyamnya dan saat berbuka. Hal
ini ditunjukkan oleh renretan ayat
shiyam yang diakhiri dengan
perintah doa.
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺳَﺄَﻟَﻚَ ﻋِﺒَﺎﺩِﻱ ﻋَﻨِّﻲ ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﻗَﺮِﻳﺐٌ
ﺃُﺟِﻴﺐُ ﺩَﻋْﻮَﺓَ ﺍﻟﺪَّﺍﻉِ ﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎﻥِ ﻓَﻠْﻴَﺴْﺘَﺠِﻴﺒُﻮﺍ
ﻟِﻲ ﻭَﻟْﻴُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﺑِﻲ ﻟَﻌَﻠَّﻬُﻢْ ﻳَﺮْﺷُﺪُﻭﻥَ
"dan apabila hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang-Ku maka
sesungguhnya Aku dekat, Aku
mengkabulkan seruan orang yang
berdoa apabila berdoa kepada-Ku.
Hendaklah mereka memenuhi
perintah-Ku dan beriman kepada-
Ku, agar mereka memperoleh
kebenaran." (QS. Al-Baqarah: 186)
ini menunjukkan akan pentingnya
berdoa di bulan ini.
Anjuran berdoa di saat berbuka
juga diperkuat oleh sabda Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٌ ﻟَﺎ ﺗُﺮَﺩُّ ﺩَﻋْﻮَﺗُﻬُﻢْ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺍﻟْﻌَﺎﺩِﻝُ
ﻭَﺍﻟﺼَّﺎﺋِﻢُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻔْﻄِﺮَ ﻭَﺩَﻋْﻮَﺓُ ﺍﻟْﻤَﻈْﻠُﻮﻡِ
"Ada tiga orang yang doa mereka
tidak ditolak oleh Allah: Pemimpin
yang adil, orang yang berpuasa
sampai ia berbuka, dan doanya
orang yang terzalimi." (HR. Al-
Tirmidi, Ahmad, Ibnu Majah.
Dishahihkan Syu'aib al-Arnauth
dalam Tahqiq al-Musnad)
Dalam lafadz al-Tirmidzi,
ﻭَﺍﻟﺼَّﺎﺋِﻢُ ﺣِﻴﻦَ ﻳُﻔْﻄِﺮ
" . . . dan orang yang berpuasa
saat ia berbuka." (Dishahihkan Al-
Albani dalam Shahih al-Tirmidzi)
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-'Utsaimin berkata dipenghujung
keterangan beliau tentang doa
saat berbuka, ". . .Yang penting
kalau anda berdoa dengan itu
atau yang lainnya ketika berbuka
maka itu adalah tempat
terkabulkannya (doa).” (Dinukil
dari Majmu’ Fatawa Sykeh Ibnu
Utsaimin, 19 soal no. 341)
. . .Yang penting kalau anda
berdoa dengan itu atau
yang lainnya ketika
berbuka maka itu adalah
tempat terkabulkannya
(doa).
Syaikh Ibnu al-'Utsaimin
Kesimpulan
Bagi orang yang berpuasa silahkan
berdoakepada Allah pada saat
berbuka sesuai hajat yang
dikehendakinya. Seperti, meminta
surga dan berlindung dari neraka,
beristighfar (memohon ampunan),
dikuatkan imannya, dilapangkan
rizki dan doa-doa yang lainnya.
Adapun membaca doa khusus
yang disandarkan kepada berbuka
puasa, maka doayang paling kuat
adalah:
ﺫَﻫَﺐَ ﺍﻟﻈَّﻤَﺄُ ﻭَﺍﺑْﺘَﻠَّﺖْ ﺍﻟْﻌُﺮُﻭﻕُ ﻭَﺛَﺒَﺖَ ﺍﻟْﺄَﺟْﺮُ
ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ
Dzahaba Dzoma’u Wabtallatil
‘Uruuqu Wa Tsabatal Ajru Insya
Allah
"Telah hilang rasa dahaga, dan dan
telah basah kerongkongan, serta
telah tetap pahala insya Allah."
Doa ini lebih utama diamalkan dari
pada yang satunya karena
derajatnya lebih baik. Dan Secara
dhahirnya hadits ini dibaca saat
sudah mulai berbuka puasa bukan
sebelumnya.Wallahu Ta'ala a'lam

Minggu, 07 Agustus 2011

BENARKAH MENURUT ALQUR'AN ,SEMUA MUSLIM MASUKNERAKA?

Dalam berbagai diskusi lintas agama
seringkali para kafir harby mencemooh
umat islam yang melakukan berbagai
Ibadah dengan kesungguhan hati. dan salah satu cemoohan mereka
adalah dengan mengutip Qs 19:71
sebagai dasar cemoohan kalau Umat
Islam semuanya akan masuk neraka. Dan ini adalah salah satu contoh
postingan mereka http://
answering.wordpress.com/2007/07/19/
menjawab-buat-yang-bimbang/
#comment-31921 Tertanggal July 26, 2011 at 8:55 am Allah: “Tak seorangpun
daripadamu, melainkan masuk
neraka, ini bagi Tuhanmu adalah
kepastian yg sdh ditetapkan”.(Qs
19:71) Rasul:”Tak ada yg tinggal, org
bebuat baik atau jahat semua akn masuk neraka….”.(Prof. Dr Hamka
1982 h 84) YESHUA:”Aku pergi ke Sorga
menyediakan tempat bagimu, Aku akan membawa kamu ke
tempat-Ku, spy di mana Aku
berada, kamunpun berada”.(Yoh 14:3) Amor jawab: kutipan diatas adalah kutipan yang
memanipulasi fakta yang ada. yang ia manipulasi adalah : 1. Terjemahan yang ia kutip terjemahan yang beredar luas Qs 19:71
adalah :MENDATANGI NERAKA BUKAN
MASUK NERAKA ًﺎﻤْﺘَﺣ َﻚِّﺑَﺭ ﻰَﻠَﻋ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻫُﺩِﺭﺍَﻭ ﺎَّﻟِﺇ ْﻢُﻜﻨِّﻣ ﻥِﺇَﻭ
ًﺎّﻴِﻀْﻘَّﻣ [19:71] Dan tidak ada seorangpun dari
padamu, melainkan mendatangi
neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah
suatu kemestian yang sudah
ditetapkan. dalam mengutip tidak memperhatikan
ayat sebelum dan sesudahnya,agar
jelas kita perhatikan ayat sebelum dan
sesudahnya : ًﺎّﻴِﻠِﺻ ﺎَﻬِﺑ ﻰَﻟْﻭَﺃ ْﻢُﻫ َﻦﻳِﺬَّﻟﺎِﺑ ُﻢَﻠْﻋَﺃ ُﻦْﺤَﻨَﻟ َّﻢُﺛ audio[19:70] Dan kemudian Kami
sungguh lebih mengetahui orang-
orang yang seharusnya dimasukkan
ke dalam neraka. ًﺎﻤْﺘَﺣ َﻚِّﺑَﺭ ﻰَﻠَﻋ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻫُﺩِﺭﺍَﻭ ﺎَّﻟِﺇ ْﻢُﻜﻨِّﻣ ﻥِﺇَﻭ
ًﺎّﻴِﻀْﻘَّﻣ audio[19:71] Dan tidak ada
seorangpun dari padamu, melainkan
mendatangi neraka itu. Hal itu bagi
Tuhanmu adalah suatu kemestian yang
sudah ditetapkan. ًﺎّﻴِﺜِﺟ ﺎَﻬﻴِﻓ َﻦﻴِﻤِﻟﺎَّﻈﻟﺍ ُﺭَﺬَﻧَّﻭ ﺍﻮَﻘَّﺗﺍ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﻲِّﺠَﻨُﻧ َّﻢُﺛ audio[19:72] Kemudian Kami akan
menyelamatkan orang-orang yang
bertakwa dan membiarkan orang-
orang yang zalim di dalam neraka
dalam keadaan berlutut. 2.kutipan tafsir buya hamka dalam tafsir buya hamka pada ayat
tersebut,terjemahannya juga sama
dengan terjemahan DEPAG,yaitu
mendatangi Neraka bukan MASUK
NERAKA,adapun soal masuk neraka
juga kutipan sepotong,mengabaikan penjelasan utuh dari Prof Hamka. agar jelas amor akana sampaikan Tafsir
AL Azhar dari buta hamka mengenail
Qs 19:71-72 : Semua Akan Mendatangi Neraka ﺎﻫُﺩِﺭﺍﻭ َّﻻِﺇ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ْﻥِﺇ َﻭ َ “Dan tidak ada seorang pun di antara
kamu, melainkan akan mendatangi­
nya.” (pangkal ayat 71). Artinya ialah semua orang, tidak
terkecuali. Orang baik di kala di dunia
ataupun dia orang jahat, namun dia
mesti mendatangi neraka. ﺎًّﻴِﻀْﻘَﻣ ًﺎﻤْﺘَﺣ َﻚِّﺑَﺭ ﻰﻠَﻋ َﻥﺎﻛ “Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu
kepastian yang telah
diputuskan.” (ujung ayat 71). Keputusan yang tidak dapat dirobah
lagi , Maka berbagai macam; faham ahli-
ahli yang telah terdahulu berkenaan
dengan ayat ini. Yang jadi
perbincangan ialah tentang kalimat
wariduha; yang kita di ayat ini memberinya arti mendatangi. Tetapi
ada juga yang memberinya arti
memasuki. Imam Ahmad bin Hanbal
mengeluarkan suatu riwayat, yang
beliau terima dari,Sulaiman bin Harb,
dan beliau ini menerimanya daripada
Khalid bin Sulaiman dari Katsir bin
Zayyad al-Barsani, dari Abu Sumiyah. Beliau ini berkata: “Kami berselisih
fikiran tentang arti al-wurud. Setengah
di antara kami berpendapat bahwa
orang Mu’min tidaklah akan turut
mendatangi ke dalam neraka itu. Tetapi
setengah mereka lagi berpendapat: “Semua masuk, kemudian dibebaskan
Allah orang-orang yang bertakwa.”
Lalu saya datangi Jabir bin Abdullah
(sahabat Nabi s.a.w.), lalu saya
sampaikan kepadanya bahwa kami
telah berselisih tentang arti mendatangi neraka itu demikian rupa. Lalu beliau
(Jabir bin Abdullah) berkata: “Semua
akan mendatanginya.” Dan berkata pula Sulaiman bin Murrah:
“Semua akan masuk ke dalamnya.”
Sambil berkata itu beliau tutup kedua
telinganya dan berkata: “Diamlah,
benar-benarlah aku pernah
mendengar Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang tinggal , baik dia
orang yang berbuat baik ataupun dia
orang yang durjana, semuanya akan
masuk ke dalamnya. Tetapi dia akan
menjadi sejuk dan selamat bagi orang
yang beriman sebagaimana keadaan pada Ibrahim, sehingga api itu akan
lindap karena sejuk mereka. Kemudian
itu Allah akan menyelamatkan orang-
orang yang bertakwa, dan akan
membiarkan orang-orang yang zalim
tinggal selamanya di dalamnya dalam keadaan berlutut. ” Menurut riwayat dari Abdurrazzaq,
yang diterimanya dari Ibnu Uyainah,
yang diterimanya dari Ismail bin Abu
Khalid, yang diterimanya pula dari Qais
bin Abu Hazm: “Pada suatu hari
Abdullah bin Rawahah meletakkan kepalanya di atas haribaan isterinya.
Maka menangislah dia dan menangis
pula isterinya. Lalu dia bertanya kepada
isterinya: “Mengapa kau menangis
pula?” Isterinya menjawab: “Aku lihat
abang menangis aku pun menangis pula.” Lalu Abdullah bin Rawahah
memberikan keterangan: “Saya
teringat sabda Tuhan: “Tidak ada
seorang pun di antara kamu,
melainkan akan mendatanginya,”
maka tidaklah aku tahu, apakah bila telah datang ke sana saya akan boleh
keluar kembali atau tidak.” Menurut
riwayat Abdullah bin Rawahah sahabat
Nabi orang Anshar itu pada waktu itu
sedang sakit. (Beliau mencapai syahid
di perang Mu’tah). Abduilah bin Rawahah terkenal karena
keberaniannya dan juga dia adalah
seorang penyair, di samping Hassan
bin Tsabit. Dia termasuk tiga Pahlawan
Islam yang sekali tewas berturut-turut
di peperangan Mu’tah pada bulan Jumadil Ula tahun kedelapan. Yang
berdua lagi, yang tewas terlebih dahulu
ialah Ja’far bin Abu Thalib, sesudah itu
Zaid bin Haritsah, dan yang terakhir
ialah Abdullah bin Rawahah ini. Berkata al-Hasan bin `Arafah, bahwa
dia menerima riwayat dari Marwan bin
Mu’awiyah, dan dia ini menerima dari
Bakkar bin Abu Marwan, dan dia ini
menerima dari Khalid bin Ma’dan.
Katanya: “Setelah ahli syurga masuk kedalam syurga dia berkata:
“Bukankah Tuhan kita telah
menjanjikan bahwa kita mesti
mendatangi neraka?” Lalu datang
jawaban: “Kamu telah melaluinya,
tetapi sedang kamu lalu itu dia tidak menyala.” Dirawikan pula oleh Imam Ahmad
dalam sebuah Hadits dari Abullah bin
Mas’ud, bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Akan mendatanginya sekalian
manusia. Kemudian akan dikeluarkan
mereka dari dalam menurut
amalannya.” Dan ada pula sebuah Hadis lain diterima
dari Abdullah bin Mas’ud juga, bahwa
semua manusia akan melalui di atas
“Ash-Shirath”, yaitu titian, dan mereka
mendatanginya itu ialah karena
mereka akan berdiri di pinggir neraka, kemudian mereka lalulah ke atas
shirath itu masing-masing menurut
amalan mereka: Ada yang melaluinya
laksana petir kencangnya, ada yang
laksana angin, ada yang lalu laksana
burung terbang, ada yang lalu sekencang kuda berlari, ada pula yang
melaluinya sekencang unta berlari dan
ada juga melaluinya laksana seorang
yang berjalan kaki saja, sehingga pada
akhirnya ada orang yang melalui titian
itu, sedang nur (cahayanya) memancar dari empu jari kakinya: Dia lalu di
atasnya, maka titian itu bergoyang-
goyang dan titian itu seakan akan
hendak membuatnya jatuh, di sana
berdiri banyak malaikat memegang
cambuk berujungkan besi terjadi dari api untuk menangkap manusia.” Hadits
ini dirawikan oleh Ibnu Abi Hatim. ‘ Di sebuah Hadis lain tersebut pula
bahwa di kin kanan berdiri pula
malaikat-malaikat yang selalu berdoa:
“Allahumma sallim, sallim.” (Ya Tuhan,
selamatkan, selamatkan). Banyaklah Hadits-hadits yang lain lagi
tentang manusia akan melalui neraka
dengan meniti di atas titian, atau
mendatangi neraka atau memasuki
neraka. Hasil kesimpulannya ialah
bahwa siapa saja pun akan melaluinya. Sedang Nabi s.a.w. sewaktu beliau
mengerjakan Mi’raj pun pernah ziarah
ke neraka dan melihatnya dari dekat.
Tetapi kalau sudah ada keterangan
bahwa ada ahli syurga yang tidak tahu
bahwa dia telah pernah mendatangi neraka, tiba-tiba dia sudah ada saja
dalam syurga, karena neraka
didinginkan ketika orang yang
beriman melaluinya dapatlah kita
fahamkan bahwa bagi Nabi kita s.a.w.
neraka itu adalah sejuk di waktu ziarahnya dahulu itu. ﺍْﻮَﻘَّﺗﺍ َﻦﻳﺬَّﻟﺍ ﻲِّﺠَﻨُﻧ َّﻢُﺛ َ “Kemudian itu akan Kami selamatkan
orang-orang yang
bertakwa.” (pangkal ayat 72). Artinya, apabila telah selesai sekalian
makhluk melalui atau mendatangi
neraka itu, dan telah jatuh rnana yang
jatuh karena kufurnya atau
maksiatnya, maka dipelihara Allahlah
orang yang beriman dan yang bertakwa menurut amalan mereka.
Cepat dan lambatnya melalui titian ialah
menurut amalannya tatkala di dunia.
Maka diberi syafa’atlah orarig Mu’min
yang pernah terlanjur berdosa besar,
dan memberikan syafa’at pula malaikat-malaikat, Nabi-nabi dan
orang-orang yang beriman yang
diizinkan Allah, sehingga banyaklah
orang yang telah dibakar neraka yang
dikeluarkan: Telah hangus seluruh diri­
nya, kecuali bekas sujud yang ada di keningnya: Dan keluarnya dari neraka itupun
menurut perhitungan kadar iman yang
ada dalam hatinya. Demikianlah
berturut-turut, dikeluarkan orang-
orang yang menurut kadar iman yang
ada dalam hatinya. Lalu dikeluarkanlah lebih dahulu orang yang dalam hatinya
ada iman sebesar uang dinar,
demikianlah berturut-turut, kemudian
itu dikeluarkan pula sampai orang
yang lebih kecil lagi ukuran iman dalam
hatinya, hatta orang yang sebesar zarrah iman itu dalam hatinya.
Kemudian sekali dikeluarkanlah orang
yang pernah mengucapkan: La llaha
Illallah, walaupun hanya sekali seumur
hidupnya, dan walaupun tidak pernah
dia berbuat baik. Akhirnya tidaklah ada yang kekal dalam neraka lagi, kecuali
orang yang memang ditentukan buat
kekal, sebagaimana tersebut yang
demikian itu di dalam Hadits-hadits
yang shahih, diterima dari Rasulullah
s.a.w. Lantaran itulah maka ujung ayat demikian bunyinya: ﺎًّﻴِﺜِﺟ ﺎﻬﻴﻓ َﻦﻴﻤِﻟﺎَّﻈﻟﺍ ُﺭَﺬَﻧ َﻭ “Dan akan Kami biarkan orang-orang
yang zalim itu di dalamnya, dalam
keadaan berlutut.” (ujung ayat 72) Sungguhpun demikian, jika
dipersambungkan dengan Surat 11,
Hud ayat 107, ada juga Ulama
berpendapat, bahwa jika Allah
menghendaki, setelah hanya tinggal
orang-orang yang kekal dalam neraka saja, Tuhan Maha Kuasa memindahkan
mereka itu ke syurga, lalu menutup
neraka itu untuk selamalamanya. (Lihat
Tafsir AI-Azhar Juzu’ 12. Tafsir ayat 107
dan Surat Hud) 3 Terjemahan Alkitab Tidak hanya terjemahan Al Qur’an yang
dipelintir,atau tafsir Al Azhar yang
dikutip secara serampangan,kutipan
ayat berdasarkan ayat Alkitabpun
kenyataannya tidak ada satupun
terjemahan resmi yang beredar seperti apa yang ia sampaikan. Lihat kembali teks terjemahan Yohanes
14:3 yang ia sodorkan : YESHUA:”Aku pergi ke Sorga
menyediakan tempat bagimu, Aku akan membawa kamu ke tempat-
Ku, spy di mana Aku berada, kamunpun berada”.(Yoh 14:3) agar jelas kita lihat Teks Yoh 14:3
dalam teks Yunani , terjemahan KJV
serta terjemahan berbagai versi
terjemahan bahasa Indonesia ΚΑΤΑ ΙΩΑΝΝΗΝ 14:3 Greek NT:
Westcott/Hort with Diacritics καὶ ἐὰν πορευθῶ καὶ ἑτοιμάσω τόπον
ὑμῖν, πάλιν ἔρχομαι καὶ
παραλήμψομαι ὑμᾶς πρὸς ἐμαυτόν,
ἵνα ὅπου εἰμὶ ἐγὼ καὶ ὑμεῖς ἦτε. KJV with Strong's And if I go and prepare a place for
you I will
come again and receive you untomyself that where I am there
ye may be also TB Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan
telah menyediakan tempat bagimu,
Aku akan datang kembali dan
membawa kamu ke tempat-Ku, supaya
di tempat di mana Aku berada,
kamupun berada. BIS Sesudah Aku pergi menyediakan
tempat untuk kalian, Aku akan kembali
dan menjemput kalian, supaya di mana
Aku berada, di situ juga kalian berada. FAYH (14-2) DRFT_WBTC Setelah Aku pergi dan menyediakan
tempat bagimu, Aku akan datang
kembali. Kemudian Aku akan
membawa kamu ke tempat-Ku supaya
kamu berada di tempat Aku berada. TL Dan jikalau Aku pergi serta sudah
menyediakan tempat bagimu itu, Aku
akan kembali lalu menyambut kamu
datang kepada-Ku, supaya di tempat
Aku ini ada, di situ juga kamu ada. KSI Jika Aku pergi dan menyediakan
tempat bagimu, maka Aku akan
kembali lagi, dan Aku akan membawa
kamu ke tempat-Ku supaya di tempat
Aku berada, kamu pun berada. DRFT_SB Maka jikalau aku pergi lalu
menyediakan tempat bagimu kelak
aku akan kembali, lalu menyambut
kamu pada diriku sendiri, supaya di
tempat aku ada, disitu juga kamupun
ada. BABA Dan jikalau sahya pergi dan siapkan
satu tmpat kerna kamu, sahya nanti
datang balek, dan sambot kamu k-
pada diri sahya sndiri; spaya di mana
sahya ada, di situ juga kamu pun. KL1863 Maka kaloe akoe soedah pergi serta
soedah sadiaken tampat bagimoe,
lantas akoe dateng kembali mengambil
kamoe bersama-sama, {Yoh 12:26;
17:24} sopaja barang dimana ada
akoe, kamoe djoega bolih ada sertakoe. KL1870 Satelah soedah pergi dan koesadiakan
tempat akan kamoe, akoe akan datang
kembali mendjempoet kamoe, soepaja
barang dimana ada akoe, disana
kamoe pon sertakoe. DRFT_LDK Dan satelah sudah habis kupergi
berdjalan, dan melangkap tampat bagi
kamu, maka 'aku 'akan datang
kombali, dan menjambot kamu datang
kapadaku, sopaja lagi kamu 'ini 'ada
dimana 'aku 'ini 'ada. ENDE Dan apabila Aku telah menjediakan
tempat bagimu, Aku akan datang
kembali mendjemput kamu, supaja
kamupun ada ditempat Aku ada. FAKTA TERUNGKAP: 1.Terjemahan yang ia kutip ternyata
tidak sesuai dengan terjemahan yang
ada,maka itu bukti MANIPULASI
TERJEMAHAN ALKITAB. 2.Kalau ia mengasumsikan kata “surga’
merujuk pada terjemahan versi TB
(terjemahan baru) yang merujuk pada
kata “Ke situ”,fakta didalam teks Yunani
maupun terjemahan KJV tidak ada
satupun kata yang bisa diterjemahkan semacam itu. Jadi ada PENAMBAHAN
KATA/PENYISIPAN yang dilakukan
penerjemah versi TB dan kemudian
dilanjutkan dengan MANIPULASI
pelintiran terjemahan KATA SISIPAN
“KE SITU” di maknai SURGA. Bagi para misionaris daripada sibuk
mengurusi keyakinan agama lain yang
justru menunjukan kebodohannya dan
menjadi bumerang karena cara cara
liciknya terungkap,maka lebih baik
merenungkan ayat ayat Alkitab yang jelas jelas membahas tentang Sorga
ini : 7:21Bukan setiap orang yang berseru
kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk
ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan
dia yang melakukan kehendak Bapa-
Ku yang di sorga. 7:22Pada hari terakhir banyak orang
akan berseru kepada-Ku: Tuhan,
Tuhan, bukankah kami bernubuat
demi nama-Mu, dan mengusir setan
demi nama-Mu, dan mengadakan
banyak mujizat demi nama-Mu juga? 7:23Pada waktu itulah Aku akan
berterus terang kepada mereka dan
berkata: Aku tidak pernah mengenal
kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu
sekalian pembuat kejahatan!" Dalam pesan Yesus yang tercatat di Injil
Kanonik yang diyakini kebenaran
isinya oleh umat Kristian,Yesus
menegaskan bahwa orang yang
menyeru nyeru Yesus tuhan itu yang
dimasukan ke Surga,walaupun orang tersebut beranggapan sudah
melakukan banyak hal di dunia ini,
bernubuat,melakukan banyak
mukjizat,mengusir Syetan demi nama
Yesus tetapi menurut Pesan Yesus
mereka yang masuk Surga adalah mereka yang mengikuti kehendak
BAPA.jadi dalam Perpekstif pesan Yesus
yang terdapat didalam Injil kanonik, Qs
19:71 sesuai pesan Yesus juga sama
sekali tidak bertentangan,karena
dalam Ayat lanjutannya ُﺭَﺬَﻧَﻭ ﺍْﻮَﻘَّﺗﺍ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ﻲِّﺠَﻨُﻧ َّﻢُﺛ ﺎًّﻴِﺜِﺟ ﺎَﻬﻴِﻓ َﻦﻴِﻤِﻟﺎَّﻈﻟﺍ Qs 19:72 Kemudian Kami akan
menyelamatkan orang-orang yang
bertakwa dan membiarkan orang-
orang yang lalim di dalam neraka
dalam keadaan berlutut. justru Ajaran yang bertentangan
dengan Pesan Yesus dalam Mat 7:21-23
adalah Ajaran /keyakinan hanya percaya dengan mulut Yesus adalah
Tu(h)an,hatinya percaya kalau
Yesus mati ditiang Salib kemudian
dibangkitkan akan
diselamatkan ,jelas ajaran ini SANGAT MENYESATKAN. justru fakta AJARAN MENYESATKAN semacam ini yang kini diyakini
banyak orang Kristen,maka banyak
ditemui orang Kristen yang berani
memastikan diri kalau ia pasti
masuk surga. padahal kalau kita baca secara
seksama pesan yesus di atas, pesan
sebelumnya adalah mengingatkan
kepada para pengikutnya untuk
mewaspadai Nabi nabi Palsu bisa dibaca secara seksama ayat ayat
ini yang diyakini kebenarannya oleh
orang kristian yaitu matius 7:15-20 7:15"Waspadalah terhadap nabi-nabi
palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi
sesungguhnya mereka adalah
serigala yang buas. 7:16Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka . Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri
atau buah ara dari rumput duri? 7:17Demikianlah setiap pohon yang
baik menghasilkan buah yang baik,
sedang pohon yang tidak baik
menghasilkan buah yang tidak baik. 7:18Tidak mungkin pohon yang baik
itu menghasilkan buah yang tidak baik,
ataupun pohon yang tidak baik itu
menghasilkan buah yang baik. 7:19Dan setiap pohon yang tidak
menghasilkan buah yang baik, pasti
ditebang dan dibuang ke dalam api. 7:20Jadi dari buahnyalah kamu akan
mengenal mereka. Siapakah yang mengajarkan hanya
percaya dengan mulut Yesus adalah
Tu(h)an,hatinya percaya kalau
Yesus mati ditiang Salib kemudian
dibangkitkan akan diselamatkan? dia adalah PAULUS yang mengklaim
ditemui Yesus dan Mengklaim
sebagai RASULnya Yesus. Inilah buah/Ajaran Paulus yang
bertentangan dengan Ajaran Yesus
tersebut. suratnya untuk jemaat orang Roma
yang kini dijadikan bagian dari
kitab suci orang Kristen,yaitu Rom
10:9-11 10:9Sebab jika kamu mengaku dengan
mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan,
dan percaya dalam hatimu, bahwa
Allah telah membangkitkan Dia dari
antara orang mati, maka kamu akan
diselamatkan. 10:10Karena dengan hati orang
percaya dan dibenarkan, dan dengan
mulut orang mengaku dan
diselamatkan 10:11Karena Kitab Suci berkata:
"Barangsiapa yang percaya kepada
Dia, tidak akan dipermalukan." KESIMPULAN : jadi menjadi sangat Ironis orang orang
Kristen yang mencibir Muslim dengan
kutipan-kutipan Al Qur’an,tafsir Al
Qur’an dengan cara yang serampangan
akan masuk neraka,dan
membanggakan ayat Alkitabnya bahwa mereka disediakan
Surga,bahkan ada yang berani
memastikan diri mereka masuk surga
tetapi kenyataannya mereka justru
terusir dan tidak diakui bahkan tidak
dikenal oleh Yesus.dan ternyata yang mereka ikut adalah berasal dari
manusia yang pantas diwaspadai yang
menyesatkan banyak orang. Dan buah
dari ajaran menyesatkan ,hanya
percaya dengan mulut Yesus tu(h)an
dan percaya dengan hatinya yesus mati ditiang salib dan
dibangkitkan,membuahkan manusia
manusia Sombong,manusia yang kePD-
annya berlebihan. sebaliknya dengan ayat ayat Al Qur’an
yang dikutipnya,kalau muslim
memperhatikan ayat ayat
tersebut ,maka itu bisa mendorong
umat islam untuk bersikap hati hati
dalam menjalani kehidupan di dunia. Dan Umat Islam kalau ingat ayat ayat Qs
19:71-72 membuahkan sikap mereka
yang senantiasa rendah hati sekarang pilihan di tangan anda,Ajaran
mana yang anda pilih? Apapun pilihan
anda TANGGUNG SENDIRI RESIKONYA. wassalam

Rabu, 03 Agustus 2011

Melawan hawa napsu

MOQODDIMAH
Dalam sebuah acara seoorang
penyanyi yang merangkap sebagi
dai, sebelum menyanyi terlebih
dahulu dia memberikan
muqoddimah (pembukaan):
“Saudara-saudara, melawan hawa
nafsu adalah jiha yang utama.
Suatu saat, ketika nabi pulang
beserta para sahabatnya dari
sebuah peperangan, beliau
bersabda kepada para sahabat: ‘
Sesungguhnya kalian pulang dari
jihad kecil menuju jihad besar. Para
sahabat bertanya : Ya Rosulullah,
apakah jihad yang besar itu?’
Beliau menjawab : jihad nafs (jihad
melawan hawa nafsu)” setelah itu
dia membawakan lagunya.
Ketika ramai-ramai jihad ke Maluku
beberapatahun yang lalu, seorang
tokoh ditanyai wartawan tentang
keberangkatan tersebut, lalu dia
menjawab dengan enteng :
“kenapa perlu susah-susah pergi ke
sana, lha wong kita saja belum bisa
melawan hawa nafsu kita sendiri
kok, padahal ini lebih penting.
Dalam sebuah hadist dikatakan: ‘
Kita kembali dari jihad kecil menuju
jihad besar.’”
Duacontoh di atas sudah begitu
akrab di masyarakat. Sungguh,
hadist ini sangat terkenal dan
sering disampaikan oleh para dai,
termasuk di bulan Romadhon
ketika membahas keutamaan
melawan hawa nafsu. Namun
bagaimana status hadist populer
ini sebenarnya ? semoga tulisan
ringkas ini bisa membatu untuk
menemukan jawabannya.
TEKS HADIST
Kita kembali dari jihad kecil menuju
jihad yang besar
DERAJAT HADIST
TIDAK ADA ASALNYA. Hadist
dengan lafazh ini tidak ada asalnya
dalam kitab-kitab hadist. Hanya
saja ada lafazh lainnya,
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam
az-Zuhd no 373, Abu Bakar asy
Syafi’i dalam al-Fawa’id al-
Muntaqoh: 13/83/1, al-Khotib al-
Baghdadi dalam Tarikh Baghdad:
13/523; semuanya melalui jalur
Yahya bin Ya’la dari Laits dari Atho’
dari Jabir dengan lafahz:
Pernahsuatu kaum yang
berperang datang kepada Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam , maka
Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda : “Selamat datang dari
jihad kecil menuju jihad besar.
“ditanyakan kepada beliau : apa
itu jihad besar.” “Beliau menjawab :
Jihad seorang hamba melawan
hawa nafsunya”.
Sanadini lemah, sebab Yahya bin
Ya’la dan Laits adalah dua rowi
yang lemah haditsnya.
Al– Baihaqi rahimahullah
berkata :”Di dalam sanad ini ada
kelemahan”
Al– Hafizh al-Iraqi rahimahullah
berkata : “Sanadnya lemah”
Al –Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata : “Hadist ini diriwayatkan
dari jalan Isa bin Ibrahim dari
Yahya dari Laits bin Abu Sulaim,
padahal mereka seluruhnya adalah
orang-orang yang lemah. Dan an-
Nasa’i membawakannya dari
ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ablah,
salah seorang tabi’in Syam.”
Al –Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata dalam Tasdidul-Qus :
“Hadist ini sangat masyhur dan
banyak beredar, padahal itu
hanyalah perkataan Ibrahim bin
Abi ‘Ablah yagn diriwayatkan oleh
an-Nasa’i dalam al-Kuna”
Syakhul-IslamIbnu Taimiyah
rahimahullah berkata : “ Hadist ini
tidak ada asalnya, tidak ada
seorang ahli hadist pun yang
meriwayatkannya. Jihad melawan
orang kafir merupakan amalan
ketaatan yang paling utama
(bukan sekedar jihad kecil, Red)”
MENGKRITK MATAN HADITS
Matan hadist ini juga perlu ditinjau
ulang, karena bagaimana jihad
melawan orang kafir sebagai
amalan yang sangat utama dalam
Islam disebut “jihad kecil”, padahal
berapa banyak ayat dan hadist
yang menganjurkannya.
UstadzAbu Unaisah Abdul Hakim
bin Amir Abdat berkata : “selain itu,
kalau kita perhatikan maknanya
(hadist ini), niscaya tampaklah
kebatilannya yang akan
membawa kerusakan bagi umat ini
Pertama: Mengecilkan
(meremehkan) jihad karena kalau
peperangan-peperangan besar
pada masa Rosulullah Shollallahu
‘Alaihi Wasallam seperti perang
Badar dan Tabuk dinamakan
perang kecil, maka bagaimana
dengan jihad-jihad yang
sesudahnya? Bukankah semakin
kecil dan tidak ada artinya sama
sekali?
Kedua : Melemahkan semangat
jihad umat Islam karena semua itu
adalah jihad kecil, meskipun negara
dan harta-harta mereka dirampas,
darah mereka ditumpahkan serta
kehormatan mereka dilanggar!
Ketiga: Setiap muslim akan
mementingkan dirinya masing-
masing tanpa mau peduli urusan
umat, karena urusan diri adalah
jihad akbar (besar) sedangkan
urusan umat hanya jihad ashghor
(kecil)!
Jelas sekali, pikiran di atas
menyalahi ketetapan Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang
telah beliau buat untuk umat ini,
yaitu bahwa orang mukmin itu
seumpama satu bangunan yang
sebagiannya menguatkan
sebagian yang lain (lihat Shohih al-
Bukhori ; 1/23, 7/80 dan Shohih
Muslim: 8/20)
Keempat: Siyaq (susunannya)
bukan susunan nubuwwah atau
kenabian melainkan orang yang
putus jiwanya, putus asa, patah
semangat, dan penakut yang tidak
mungkin diucapkan oleh seorang
nabi yang pernah bersabda di
waktu Perang Uhud : “Bangkitlah
kalian menuju Surga yang luasnya
seluas langit dan bumi. (Shohih
Muslim : 8/20)”
Kelima: Bertentangan dengan
ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist-
hadist shohih.
Keenam: Rupanya si pembuat
hadist palsu ini seorang yang
bodoh tentang hakikat jihad
sehingga perlu dia dibandingkan
dengan jihad nafs.
Ketahuilahbahwa seorang yang
pergi ke medan jihad dengan ikhlas
sebelumnya dia telah
menundukkan dan mengalahkan
hawa nafsunya. Dan ini kenyataan
yang tidak bisa dipungkiri lagi bagi
mereka yang mempunyai
bashiroh.”
AL-GHOZALI DAN KITABNYA, IHYA’
ULUMUDDIN
Termasuk faktor penyebab
tersebarnya hadist ini adalah
termuatnya hadist pembahasan
dalam kitab monumental al-
Ghozali, Ihya’ Ulumuddin (3/1609
dan 3/1726). Sedangkan Ihya
Ulumuddin ini merupakan kitab
yang sangat masyhur dan menjadi
pedoman para ustadz, da’i dan kiai
di negeri kita, padahal kitab ini –
sebagaimana disoroti oleh para
ulama – banyak memuat hadist-
hadist lemah dan palsu bahkan
tidak ada asalnya dari Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam.
Imamas-Subkhi rahimahullah
menulis pasal khusus tentang
hadist-hadist yang tidak beliau
jumpai asalnya dalam ihya’,
ternyata terhitung kurang lebih
ada 923 hadist. Demikian pula al-
Hafizh al-Iroqi rahimahullah dalam
Takhrij Ihya’ seringkali
melemahkan hadist-hadistnya,
bahkan beliau tak jarang
mengatakan : “Saya belum
menemukan asal-usulnya”
Halini tidak mengherankan bila
kita mengetahui bahwa al-Ghozali
memang bukan ahli hadist
sebagaimana pengakuannya
sendiri :”Perbendaharaanku dalam
hadist hanya sedikit”.
JIHAD MELAWAN HAWA NAFSU
Setelah membaca keterangan di
atas, kami berharap tidak ada
pembaca yan beranggapan bahwa
kami mengingkari jihad melawan
hawa nafsu atau mengecilkannya.
Sesungguhnya yang kami ingkari
adalah pemahaman yang keliru
tentang hadist ini yang
mengecilkan jihad fi sabilillah yaitu
perang melawan musuh-musuh
Alloh demi tegaknya panji Islam,
dengan tetap menjaga jihad nafs.
RosulullahShollallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda : “Seorang
mujahid adalah seorang yang
melawan hawa nafsunya”
Alangkahbagusnya ucapan al-
Hafizh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah
rahimahullah tatkala mengatakan :
“Jihadmemiliki empat tingkatan:
jihad melawan hawa nafsu, jihad
melawan setan, jihad melawan
orang kafir dan jihad melawan
orang munafik. Jihad melawan
hawa nafsu juga memiliki empat
tingkatan:
Pertama: Melawan hawa nafsu
untuk mempelajari petunjuk dan
agama yang benar, yang tidak ada
kebahagiaan di dunia dan akhirat
kecuali dengan ilmu, dan barang
siapa tidak berilmu maka dia
sengsara dunia akhirat.
Kedua: Melawan hawa nafsu
untuk mengamalkan ilmunya,
karena sekedar ilmu tanpa amal
tidaklah bermanfaat. Kalau tidak,
ilmu malah akan memadhorotkan.
Ketiga: Melawan hawa nafsu
untuk mendakwahkan ilmu dan
mengajari orang yang belum
mengerti. Bila tidak maka dia
termasuk orang-orang yang
menyembunyikan wahyu Alloh
berupa keterangan dan petunjuk,
ilmunya tiada bermanfaat dan dia
tidak selamat dari adzab Alloh.
Keempat: Melawan hawa nafsu
untuk bersabar dalam menghadapi
rintangan dakwah dan permusuhan
manusia.
Apabila seorang hamba telah
sempurna dalam mewujudkan
tingkatan ini maka dia menjadi
Robbani, karena para ulama
bersepakat bahwa seorang alim
tidak disebut Robbani hingga dia
berilmu tentang kebenaran,
mengamalkan, dan
mengajarkannya. Barang siapa
yang berilmu, beramal dan
mengajarkan (ilmunya) maka
dialah yang didoakan di Kerajaan
Langit.”
Akhirnya, kita memohon kepada
Alloh agar memenangkankita
dalam jihad melawan hawa nafsu
dan melawan musuh-musuh Islam
semuanya. Aamin.
( Majalah al Furqon Edisi Khusus
tahun kedelapan Romadhon-
Syawal 1429, halaman 15-17)