Selasa, 12 Juli 2011

Kisah Sahabat Nabi: Abu Darda', Ahli Hikmah yang Budiman

Pada saat balatentara
Islam berperang,
kalah dan menang di
beberapa penjuru bumi, di kota Madinah berdiam
seorang ahli hikmah dan filsuf yang
mengagumkan. Dari dirinya
memancar mutiara yang cemerlang
dan bernilai. Ia senantiasa mengucapkan kata-
kata indah kepada masyarakat
sekelilingnya, "Maukah kamu
sekalian, aku kabarkan amalan-
amalan yang terbaik. Amalan yang
terbersih di sisi Allah dan paling meninggikan derajat kalian. Lebih
baik dari memerangi musuh dengan
menghantam batang leher mereka,
lalu mereka pun menebas batang
lehermu, dan malah lebih baik dari
emas dan perak?" Para pendengarnya menjulurkan
kepala mereka ke depan karena
ingin tahu, lalu bertanya, "Apakah itu
wahai, Abu Darda'?" Abu Darda' menjawab, "Dzikrullah!" Ahli hikmah yang mengagumkan ini
bukannya menganjurkan orang
menganut filsafat dan mengasingkan
diri. Ia juga tidak bermaksud
menyuruh orang meninggalkan
dunia, dan tidak juga mengabaikan hasil agama ini yang telah dicapai
dengan jihad fi sabilillah. Abu Darda' bukanlah tipe orang
semacam itu, karena ia telah ikut
berjihad mempertahankan agama
Allah bersama Rasulullah SAW
hingga datangnya pertolongan Allah
dengan pembebasan dan kemenangan merebut kota Makkah. Abu Darda' adalah ahli hikmah yang
besar di zamannya. Ia adalah sosok
yang telah dikuasai oleh kerinduan
yang amat besar untuk melihat
hakikat dan menemukannya. Ia
menyerahkan diri secara bulat kepada Allah, berada di jalan lurus
hingga mencapai tingkat kebenaran
yang teguh. Pernah ibunya ditanyai orang
tentang amalan yang sangat
disenangi Abu Darda'. Sang ibu
menjawab, "Tafakur dan mengambil
i'tibar (pelajaran)." Pada saat memeluk Islam dan
berbaiat pada Rasulullah SAW, Abu
Darda' adalah seorang saudagar
kaya yang berhasil di antara para
saudagar kota Madinah. Dan
sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar
umurnya dalam perniagaan, bahkan
sampai Rasulullah dan kaum
Muslimin lainnya hijrah ke Madinah.
Tidak lama setelah memeluk Islam,
kehidupannya berbalik arah. "Aku tidak mengharamkan jual-beli.
Hanya saja, aku pribadi lebih
menyukai diriku termasuk dalam
golongan orang yang perniagaan
dan jual-beli itu tidak melalaikannya
dari dzikir kepada Allah," ujarnya. Abu Darda' sangat terkesan hingga
mengakar ke dasar jiwanya dengan
ayat-ayat Al-Qur'an yang berisi
bantahan terhadap, "Orang yang
mengumpul-ngumpulkan harta dan
menghitung-hitungnya." (QS Al- Humazah: 2-3). Ia juga sangat terkesan sabda
Rasulullah SAW, "Yang sedikit
mencukupi, lebih baik daripada yang
banyak namun merugikan." Oleh sebab itulah, ia kerap menangisi
mereka yang jatuh menjadi tawanan
harta kekayaan. "Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari hati yang
bercabang-cabang." Orang-orang bertanya, "Apakah
yang dimaksud dengan hati yang
bercabang-cabang itu?" "Memiliki harta benda di setiap
lembah!" jawabnya. Ia mengimbau
manusia untuk memiliki dunia tanpa
terikat padanya. Itulah cara
pemilikan hakiki. Adapun keinginan
hendak menguasainya secara serakah, takkan pernah ada
kesudahannya. Maka yang demikian
adalah seburuk-buruk corak
penghambaan diri. Saat itu ia juga berkata, "Barangsiapa
yang tidak pernah merasa puas
terhadap dunia, maka tak ada dunia
baginya." Bagi Abu Darda', harta hanyalah alat
bagi kehidupan yang bersahaja dan
sederhana, tidak lebih. Berpijak dari
sini, maka manusia hendaknya
mengusahakannya dengan cara
yang halal, dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana, bukan
dengan kerakusan dan mati-matian.
"Jangan kau makan, kecuali yang
baik. Jangan kau usahakan kecuali
yang baik. Dan jangan kau
masukkan ke rumahmu, kecuali yang baik!" ujarnya. Menurut keyakinannya, dunia dan
seluruh isinya hanya semata-mata
pinjaman dan menjadi jembatan
untuk menyeberang menuju
kehidupan yang abadi. Pada suatu hari, para sahabat
menjenguknya ketika ia sakit.
Mereka mendapatinya terbaring di
atas hamparan dari kulit. Mereka
menawarkan kepadanya agar kulit
itu diganti dengan kasur yang lebih baik dan empuk. Tawaran ini dijawabnya sambil
memberi isyarat dengan telunjuknya,
sedangkan kedua bola matanya
menatap jauh ke depan. "Kampung
kita nun jauh di sana, untuknya kita
mengumpulkan bekal. Dan ke sana kita akan kembali. Kita akan
berangkat kepadanya dan beramal
untuk bekal di sana."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar