Selasa, 12 Juli 2011

Kisah Sahabat Nabi: Amr bin Jamuh, Menggapai Surga dengan Kaki Pincang

Amr
bin Jamuh adalah
salah seorang
pemimpin Yatsrib
pada masa jahiliyah. Dia ipar Abdull bin Amr bin Haram,
juga kepala suku Bani Salamah yang
dihormati yang dihormati karena
pemurah dan memiliki peri
kemanusiaan yang tinggi serta
gemar menolong orang-orang yang membutuhkan Telah menjadi kebiasaan para
bangsawan jahiliyah untuk
menempatkan patung di rumah
mereka masing-masing. Dengan
demikian, mereka bisa mengambil
berkah dan dan memuja patung tersebut setiap saat. Selain itu, untuk
memudahkan mereka meletakkan
sesajen sembari mengadukan
keluhan-keluhan mereka pada
waktu yang diperlukan. Patung di rumah Amr bin Jamuh
bernama “Manat”. Patung itu terbuat
dari kayu, indah dan mahal
harganya. Untuk perawatannya, Amr
bin Jamuh terkadang harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Hampir setiap hari patung itu
dibersihkan dan diminyaki dengan
wangi-wangian khusus dan mahal. Tatkala cahaya Islam mulai bersinar
di Yatsrib dari rumah ke rumah, usia
Amr bin Jamuh sudah lewat 60
tahun. Tiga orang putranya:
Mu’awadz, Mu’adz dan Khalad, serta
seorang kawan sebaya mereka, Mu’adz bin Jabal, telah masuk Islam
di tangan Mush‘ab bin Umair, sang
duta Islam. Bersamaan dengan
ketiga putranya, masuk Islam pula
ibu mereka Hindun, istri Amr bin
Jamuh. Amr tidak mengetahui kalau mereka telah masuk Islam. Saat itu, para bangsawan dan
pemuka suku di Yatsrib (Madinah)
telah banyak yang masuk Islam.
Hindun yang sangat mencintai dan
menghormati suaminya khawatir
kalau suaminya mati dalam keadaan kafir lalu masuk neraka. Sebaliknya
Amr sangat mencemaskan
keluarganya yang akan
meninggalkan agama nenek
moyang mereka. Dia takut putra-
putranya terpengaruh oleh dakwah yang disebarkan oleh Mush’ab bin
Umair. Karena dalam tempo singkat
Mush’ab berhasil merubah agama
orang banyak dan menjadikan
mereka Muslim. Oleh sebab itu, Amr selalu berkata
kepada istrinya, “Hai Hindun, hati-
hatilah menjaga anak-anak, agar
mereka jangan sampai bertemu
dengan orang itu (Mush ‘ab bin
‘Umair)!” “Ya," jawab istrinya. "Tapi apakah
kau pernah mendengar putra kita
bercerita mengenai pemuda itu?” “Celaka! Apakah Mu’adz telah masuk
agama orang itu?" tanya Amr gusar. “Tidak, bukan begitu! Tetapi Mu’adz
pernah hadir dalam majelis orang itu,
dia ingat kata-katanya,” jawab
istrinya menenteramkan hati Amr. "Panggillah dia kemari!” perintah
suaminya. Ketika Mu’adz hadir di hadapan
ayahnya, Amr berkata, “Coba baca
kata-kata yang pernah diucapkan
orang itu. Bapak ingin
mendengarkannya." Mu’adz membacakan surat Al-Fatihah
kepada bapaknya. “Alangkah bagus dan indahnya
kalimat itu. Apakah setiap
ucapannya seperti itu?” tanya Amr. “Bahkan lebih bagus dari itu.
Bersediakah ayah baiat dengannya?
Rakyat ayah telah banyak yang baiat
dengan dia,” kata Mu’adz. Orang tua itu diam sebentar.
Kemudian dia berkata, “Aku tidak
akan melakukannya sebelum
musyawarah lebih dahulu dengan
Manat. Aku menunggu apa yang
dikatakan Manat.” “Bagaimana Manat bisa menjawab?
Bukankah itu benda mati, tidak bisa
berpikir dan tidak bisa berbicara?”
kata Mu’adz. “Kukatakan padamu, aku tidak akan
mengambil keputusan tanpa dia!”
tegas Amr. Putra-putranya mengetahui benar
kapan ayah mereka menyembah
berhala itu. Mereka juga tahu kalau
hati ayah mereka mulai goyah. Oleh
sebab itu, mereka mencari jalan
bagaimana cara menghilangkan patung tersebut dari hati Amr bin
Jamuh. Salah satu jalannya adalah
menyingkirkan berhala tersebut dari
rumah mereka dan membuangnya
jauh-jauh. Pada suatu malam, putra-putra Amr
dan bersama Mu’adz bin Jabal
menyusup ke dalam rumah lalu
mengambil berhala tersebut dan
membuangnya ke dalam lubang
kotoran manusia. Tidak seorang pun yang mengetahui dan melihat
perbuatan mereka itu. Pagi harinya, Amr tidak melihat
Manat di tempatnya. Ia bergegas
mencari berhala tersebut dan
akhirnya menemukan di tempat
pembuangan kotoran. Bukan main
marahnya Amr bin Jamuh melihat kondisi sesembahannya itu. Setelah
membersihkan sang berhala dan
memberinya wewangian, ia kembali
meletakkannya di tempat semula. Malam berikutnya, Muadz bin Jabal
dan putra-putra Amr
memperlakukan berhala itu seperti
sebelumnya. Demikian juga pada
malam-malam berikutnya. Akhirnya,
habislah kesabaran Amr. Diambilnya pedang, kemudian
digantungkannya di leher Manat,
seraya berkata, " Hai Manat, jika
kamu memang hebat, tentu bisa
menjaga dirimu dari aniaya orang
lain!" Keesokan harinya, Amr bin Jamuh
tidak menemukan berhalanya
kembali. Ketika ia cari, benda
tersebut ditemukannya di tempat
pembuangan hajat, terikat bersama
bangkai seekor anjing. Di saat ia keheranan, marah dan kecewa,
muncullah beberapa pemuka
Madinah yang telah masuk Islam.
Sambil menunjuk berhala yang
terikat dengan bangkai anjing itu,
mereka berusaha mengetuk hati Amr bin Jamuh agar menggapai
hidayah Allah. Akhirnya ia sadar, bahwa Manat tak
dapat berbuat apa-apa. Manat
ternyata tak mempunyai sifat
ketuhanan sedikit pun. Selama ini, ia
berpikir bahwa kekayaan yang ia
miliki itu datang dari Manat. Sekarang ia sadar, bahwa Manat bukanlah
Tuhan yang dapat memberinya
rezeki dan petunjuk. Ia kemudian membersihkan badan
dan pakaiannya, memakai
wewangian, lalu bergegas menemui
Nabi Muhammad SAW untuk
menyatakan keislamannya. Amr bin
Jamuh merasakan bagaimana manisnya iman. Dia sangat menyesali
dosa-dosanya selama dalam
kemusyrikan. Maka setelah masuk
Islam, ia mengarahkan seluruh
hidupnya, hartanya, dan anak-
anaknya dalam menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Tatkala terjadi Perang Badar, Amr bin
Jamuh bersiap-siap hendak turut
bergabung, namun sayang
Rasulullah tak mengizinkannya turut
serta—melihat kondisinya yang
renta dan pincang. Beliau memberikan keringanan padanya
untuk tidak ikut berperang. Namun ketika terjadi Perang Uhud, ia
pun bersiap-siap hendak turut
berjihad. Namun putra-putranya
melarang. Ia pun nekat menemui
Rasulullah dan berkata, "Wahai
Rasulullah, putra-putraku melarangku berbuat kebajikan.
Mereka keberatan jika aku ikut
berperang karena sudah tua dan
pincang. Demi Allah, dengan
pincangku ini, aku bertekad meraih
surga." Rasulullah pun akhirnya
mengizinkan Amr bin Jamuh turut
serta dalam Perang Uhud. Dengan
suara mengiba ia memohon kepada
Allah SWT, "Ya Allah, berilah aku
kesempatan untuk memperoleh syahid. Jangan kembalikan aku
kepada keluargaku." Tatkala perang berkecamuk, kaum
Muslimin berpencar. Amr bin Jamuh
berada di barisan paling depan. Dia
melompat dan berjingkat seraya
mengelebatkan pedangnya ke arah
musuh-musuh Allah, sambil berteriak, "Aku ingin surga, aku
ingin surga!" Apa yang didambakan Amr akhirnya
terwujud jua. Ia gugur sebagai
syahid bersama beberapa sahabat
lainnya. Tatkala perang berakhir,
Rasulullah SAW memerintahkan
untuk memakamkan jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr bin
Jamuh dalam satu liang lahat. Semasa
hidup, mereka berdua adalah
sahabat setia yang saling
menyayangi. Dalam riwayat lain
disebutkan, Amr bin Jamuh dimakamkan satu liang dengan
putranya, Khalad bin Amr. Setelah 46 tahun berlalu, tanah
pemakaman itu dilanda banjir. Kaum
Muslimin terpaksa memindahkan
jasad para syuhada. Kala itu, Jabir bin
Abdullah bin Haram—putra Abdullah
bin Amr bin Haram—masih hidup. Bersama keluarganya, ia
memindahkan jasad ayahnya,
Abdullah bin Haram dan Amr bin
Jamuh. Mereka mendapatkan kedua
jasad syuhada itu tetap utuh. Tak
sedikit pun dari tubuh mereka yang dimakan tanah. Bahkan keduanya
seperti tertidur nyenyak dengan
bibir menyunggingkan senyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar