Selasa, 12 Juli 2011

Kisah Sahabat Nabi: Abu Sufyan bin Harits, Ketua Pemuda Surga

Tidak ada tali-temali
yang
menghubungkan
dua pribadi seperti yang mengikat Rasulullah SAW
dengan Abu Sufyan bin Harits. Dua
insan itu lahir nyaris bersamaan.
Keduanya sebaya dan dibesarkan
dalam keluarga yang sama. Abu Sufyan—bukan Abu Sufyan bin
Harb, ayah Muawiyah—adalah
sepupu Rasulullah SAW. Ayahnya,
Harits bin Abdul Muthalib, adalah
saudara Abdullah, ayah Nabi
Muhammad. Hubungan keduanya menjadi semakin erat karena mereka
disusui oleh Halimah Sa'diyah secara
bersamaan. Mereka pun menjadi dua
sahabat bermain yang saling
mengasihi satu sama lain. Karena hubungan yang demikian
erat tersebut, maka kebanyakan
orang menyangka Abu Sufyanlah
yang akan paling dahulu
menyambut seruan Rasulullah SAW,
dan dialah yang paling cepat memercayai serta mematuhi
ajarannya dengan setia. Namun kenyataannya tidak. Bahkan
sebaliknya, justru ketika Rasulullah
mulai menyampaikan dakwah di
kalangan kerabatnya secara
sembunyi-sembunyi, api kebencian
menyala di hati Abu Sufyan. Kepercayaan dan kesetiaannya
selama ini berubah menjadi
permusuhan. Hubungan kasih
sayang sebagai satu keluarga, satu
saudara, sebaya dan sepermainan,
pupus dan berubah jadi pertentangan. Abu Sufyan adalah penunggang
kuda yang terkenal dan penyair
berimajinasi tinggi. Dengan dua
keistimewaannya itu, ia tampil
memusuhi dan memerangi
Rasulullah yang saat itu mulai berdakwah secara terang-terangan. Bila kaum Quraisy menyalakan api
permusuhan melawan Rasulullah
dan kaum Muslimin, maka Abu
Sufyan pasti tampil di antara mereka.
Lidahnya yang selalu
menyemburkan syair terus menyindir Rasulullah dengan kata-
kata kotor dan menyakitkan hati.
Keadaan itu terus berlangsung
selama dua puluh tahun. Akhirnya, Allah melapangkan dada
Abu Sufyan untuk menerima Islam
sebagai agamanya. Lalu bersama
putranya, Ja'far, ia berangkat
menemui Rasulullah di Madinah. Ketika bertemu Rasulullah, Abu
Sufyan menjatuhkan diri di hadapan
beliau. Namun Rasulullah
memalingkan wajahnya, tidak mau
menerima Abu Sufyan. Ia pun
mendatangi Nabi dari arah lain, tetapi Rasulullah tetap menghindar. Hal itu
terjadi beberapa kali. Setelah berlangsung beberapa lama,
akhirnya Rasulullah menerima
keislaman Abu Sufyan. Beliau
bersabda, "Tiada dendam dan tiada
penyesalan, wahai Abu Sufyan." "Wahai Rasulullah, ajarkanlah
kepada saudara sepupumu ini cara
berwudhu dan shalat," pinta Abu
Sufyan. Demikianlah, akhirnya Abu
Sufyan memeluk agama Islam dan
menjadi pelindung utama Rasulullah SAW. Sejak keislamannya, Abu Sufyan
menghabiskan waktunya dengan
beribadah dan berjihad, untuk
menghapus bekas-bekas masa lalu
dan mengejar ketertinggalannya. Dalam peperangan-peperangan
yang terjadi setelah Fathu Makkah, ia
selalu ikut bersama Rasulullah.
Ketika berlangsung Perang Hunain,
Abu Sufyan tak mau ketinggalan
dalam membela panji-panji Islam. Kala itu Abu Sufyan tengah
memegang erat kendali kuda
Rasulullah. Ia ingin berjuang di jalan
Allah dan syahid di hadapan beliau.
Maka sambil memegang erat tali
kekang dengan tangan kirinya, tangan kanannya memegang
pedang seraya menebas tiap musuh
yang mencoba mendekati dan
menyerang Rasulullah SAW.
Akhirnya kaum Muslimin meraih
kemenangan dalam perang itu. Ketika suasana agak tenang,
Rasulullah memandang ke arah
sekitarnya. Didapatinya seorang
mukmin tengah memegang erat-erat
tali kekang kudanya. Rupanya, sejak
pertempuran berkecamuk, orang itu tetap berada di tempatnya dan tidak
pernah meninggalkannya. Ia tetap
berdiri melindungi Rasulullah. Rasulullah menatapnya lekat-lekat,
lalu berkata, "Siapakah ini? Oh,
saudaraku Abu Sufyan bin Harits!
Aku telah meridhaimu dan Allah
telah mengampuni dosa-dosamu." Mendengar ucapan Rasulullah SAW
itu, hati Abu Sufyan berbunga-
bunga. Semangatnya kembali
muncul. Ia pun kembali bergabung
dalam barisan kaum Muslimin yang
mengejar sisa-sisa pasukan musuh. Sejak Perang Hunain itu, Abu Sufyan
benar-benar merasakan nikmat
Allah dan keridhaan-Nya. Dia merasa
mulia dan bahagia menjadi sahabat
Rasulullah. Hari-harinya dipenuhi
dengan ibadah, mentadabburi Al- Qur'an, dan mengamalkannya. Dia
berpaling dari kemewahan dunia,
dan menghadap Allah dengan
seluruh jiwa raganya. Suatu ketika, Rasulullah melihatnya
di dalam masjid. Beliau berkata
kepada Aisyah, "Wahai Aisyah,
tahukah kamu siapakah orang itu?" "Tidak, ya Rasulullah," jawab Aisyah. "Dia anak pamanku, Abu Sufyan bin
Harits. Perhatikanlah, dialah yang
paling pertama masuk masjid dan
paling terakhir keluar.
Pandangannya tidak pernah
beranjak dan tetap menunduk ke tempat sujud. Dialah ketua pemuda
di surga." Pada masa pemerintahan Umar bin
Al-Khathab, Abu Sufyan merasa
ajalnya sudah dekat. Lalu digalinya
kuburan untuk dirinya sendiri. Dan
tidak lebih dari tiga hari setelah itu,
maut pun datang menjemputnya, seolah memang telah berjanji
sebelumnya. Sebelum ruhnya meninggalkan
jasad, ia berpesan kepada
keluarganya, "Sekali-kali janganlah
kalian menangisiku. Demi Allah, aku
tidak melakukan dosa sedikit pun
sejak masuk Islam." Khalifah Umar turut menyalatkan
jenazahnya. Al-Faruq meneteskan air
mata duka atas kepergian salah
seorang sahabatnya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar