Selasa, 12 Juli 2011

Kisah Sahabat Nabi: Amr bin Ash, Sang Pembebas Mesir

Ada
tiga orang pemuka
Quraisy yang sangat
menyusahkan
Rasulullah SAW disebabkan sengitnya perlawanan
mereka terhadap dawah beliau dan
siksaan mereka terhadap
sahabatnya. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW selalu
berdoa dan memohon kepada Allah
agar menurunkan azabnya pada
mereka. Tiba-tiba, tatkala beliau
berdoa dan memohon, turunlah
firman Allah: "Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan
mereka itu atau Allah menerima
taubat mereka, atau mengazab
mereka karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang
zalim." (QS Ali Imran: 128) Rasulullah SAW memahami bahwa
maksud ayat itu ialah menyuruhnya
agar menghentikan doa
permohonan azab dan
menyerahkan urusan mereka
kepada Allah semata. Kemungkinan, mereka tetap berada dalam
keaniayaan hingga akan menerima
azab-Nya. Atau mereka bertaubat
dan Allah menerima taubat mereka
hingga akan memperoleh rahmat
karunia-Nya. Amr bin Ash adalah salah satu dari
ketiga orang tersebut. Allah
memilihkan bagi mereka jalan untuk
bertaubat dan menerima rahmat,
maka ditunjuki-Nya mereka jalan
untuk menganut Islam. Dan Amr bin Ash pun beralih rupa menjadi
seorang Muslim pejuang, dan salah
seorang panglima yang gagah
berani. Para ahli sejarah biasa menggelari
Amr bin Ash sebagai “Penakluk
Mesir”. Namun gelar ini tidaklah
tepat, yang paling tepat untuk Amr
adalah “Pembebas Mesir”. Islam
membuka negeri itu bukanlah menurut pengertian yang lazim
digunakan di masa modern ini, tetapi
maksudnya ialah membebaskannya
dari cengkraman dua kerajaan besar
yang menjajah negeri ini serta
rakyatnya dari perbudakan dan penindasan yang dahsyat, yaitu
imperium Persi dan Romawi. Mesir sendiri, ketika pasukan perintis
tentara Islam memasuki wilayahnya,
merupakan jajahan dari Romawi,
sementara perjuangan penduduk
untuk menentangnya tidak
membuahkan hasil apa-apa. Maka tatkala dari tapal batas kerajaan-
kerajaan itu bergema suara takbir
dari pasukan-pasukan yang
beriman: “Allahu Akbar, Allahu
Akbar“, mereka pun dengan
berduyun-duyun segera menuju fajar yang baru terbit itu lalu
memeluk Agama Islam yang
dengannya mereka menemukan
kebebasan mereka dari kekuasaan
kisra maupun kaisar. Jika demikian halnya, Amr bin Ash
bersama anak buahnya tidaklah
menaklukkan Mesir. Mereka
hanyalah merintis serta membuka
jalan bagi Mesir agar dapat mencapai
tujuannya dengan kebenaran dan mengikat norma dan peraturan-
peraturannya dengan keadilan, serta
menempatkan diri dan hakikatnya
dalam cahaya kalimat-kalimat Ilahi
dan dalam prinsip-prinsip Islami. Amr bin Ash tidaklah termasuk
angkatan pertama yang masuk
Islam. Ia baru masuk Islam bersama
Khalid bin Walid tidak lama sebelum
dibebaskannya kota Makkah. Anehnya keislamannya itu diawali
dengan bimbingan Negus raja
Habsyi. Sebabnya ialah karena Negus
ini kenal dan menaruh rasa hormat
terhadap Amr yang sering bolak-
balik ke Habsyi dan mempersembahkan barang-barang
berharga sebagai hadiah bagi raja. Di
waktu kunjungannya yang terakhir
ke negeri itu, tersebutlah berita
munculnya Rasul yang menyebarkan
tauhid dan akhlak mulia di tanah Arab. Raja Habsyi itu menanyakan kepada
Amr kenapa ia tak hendak beriman
dan mengikutinya, padahal orang itu
benar-benar utusan Allah? “Benarkah begitu?” tanya Amr
kepada Negus. “Benar,” jawab Negus. “Turutilah
petunjukku, hai Amr dan ikutilah dia!
Sungguh dan demi Allah, ia adalah di
atas kebenaran dan akan
mengalahkan orang-orang yang
menentangnya.” Secepatnya Amr ia mengarungi
lautan kembali ke kampung
halamannya, lalu mengarahkan
langkahnya menuju Madinah untuk
menyerahkan diri kepada Allah.
Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid bin Walid
dan Utsman bin Thalhah, yang juga
datang dari Makkah dengan maksud
hendak baiat kepada Rasulullah
SAW. Ketika Rasulullah melihat ketiga
orang itu datang, wajahnya pun
berseri-seri, lalu berkata kepada
para sahabat, “Makkah telah melepas
jantung-jantung hatinya kepada
kita.” Mula-mula tampil Khalid dan
mengangkat baiaat. Kemudian
majulah Amr dan berkata, “Wahai
Rasulullah, aku akan baiat kepada
anda, asal saja Allah mengampuni
dosa-dosaku yang terdahulu.” Maka Rasulullah menjawab, “Hai
Amr, berbaiatlah, karena Islam
menghapus dosa-dosa yang
sebelumnya.” Tatkala Rasulullah SAW wafat, Amr
bin Ash sedang berada di Oman
menjadi gubernurnya. Dan di masa
pemerintahan Umar bin Al-Khathab,
jasa-jasanya dapat disaksikan dalam
peperangan-peperangan di Suriah, kemudian dalam membebaskan
Mesir dari penjajahan Romawi. Amr tidak hanya seorang panglima
perang tangguh sebagaimana Ali bin
Abi Thalib dan beberapa sahabat
lain. Ia tidak hanya seorang diplomat
ulung sebagaimana Muawiyah. Tapi
juga seorang negarawan yang pintar memerintah. Bahkan bentuk tubuh,
cara berjalan dan bercakapnya,
memberi isyarat bahwa ia diciptakan
untuk menjadi amir atau penguasa.
Hingga pernah diriwayatkan bahwa
pada suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab melihatnya
datang. Ia tersenyum melihat
caranya berjalan itu, lalu berkata,
“Tidak pantas bagi Abu Abdillah
untuk berjalan di muka bumi kecuali
sebagai amir.” Tetapi di samping itu ia juga memiliki
sifat amanat, menyebabkan Umar bin
Al-Khathab—seorang yang terkenal
amat teliti dalam memilih gubernur-
gubernurnya—menetapkannya
sebagai gubernur di Palestina dan Yordania, kemudian di Mesir selama
hayatnya Al-Faruq. Amr bin Ash adalah seorang yang
berpikiran tajam, cepat tanggap dan
berpandangan jauh ke depan. Di
samping itu ia juga seorang yang
amat berani dan berkemauan keras
dan cerdik. Pada tahun ke-43 Hijriyah, Amr bin
Ash wafat di Mesir ketika menjadi
gubernur di sana. Di saat-saat
kepergiannya itu, ia mengemukakan
riwayat hidupnya. “Pada mulanya
aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali terhadap
Rasulullah SAW hingga seandainya
aku meninggal pada saat itu, pastilah
masuk neraka. Kemudian aku
membaiat kepada Rasulullah SAW,
maka tak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai, dan
lebih mulia dalam pandangan
mataku, daripada beliau. Dan
seandainya aku diminta untuk
melukiskannya, maka aku tidak
sanggup karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa
menatapnya sepenuh mataku. Maka
seandainya aku meninggal pada saat
itu, besar harapan akan menjadi
penduduk surga. Kemudian setelah
itu, aku diberi ujian dengan beroleh kekuasaan begitu pun dengan hal-
hal lain. Aku tidak tahu, apakah ujian
itu akan membawa keuntungan bagi
diriku ataukah kerugian.” Lalu diangkatnya kepalanya ke arah
langit dengan hati yang tunduk,
sambil bermunajat kepada Tuhannya
Yang Maha Besar lagi Maha Pengasih,
seraya berdoa, “Ya Allah, daku ini
orang yang tak luput dari kesalahan, maka mohon dimaafkan. Daku tak
sunyi dari kelemahan, maka mohon
diberi pertolongan. Sekiranya daku
tidak beroleh rahmat karunia-Mu,
pasti celakalah nasibku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar