Jumat, 19 Agustus 2011

tingkatan hadist..

I. Hadits Shahih
I.1 Definisi Hadits Shahih
kata Shahih ((ﺍﻟﺼﺤﻴﺦ dalam
bahasa diartikan orang sehat
antonim dari kata as-saqim
( ( ﺍﻟﺴﻘﻴﻢ= orang yang sakit jadi
yang dimaksud hadits shahih
adalah hadits yang sehat dan
benar tidak terdapat penyakit dan
cacat.
ﻫﻮ ﻣﺎ ﺍﺗﺼﻞ ﺳﻨﺪﻩ ﺑﻨﻜﻞ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻀﺎﺑﻂ
ﺿﺒﻄﺎ ﻛﺎﻣﻼ ﻋﻦ ﻣﺜﻠﻪ ﻭﺧﻼ ﻣﻤﻦ ﺍﻟﺸﺬﻭﺫ
ﻭ ﺍﻟﻌﻠﺔ
hadis yang muttasil (bersambung)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang
adil dan dhobith(kuat daya
ingatan) sempurna dari
sesamanya, selamat dari
kejanggalan (syadz), dan cacat
(‘ilat).
Imam Al-Suyuti mendifinisikan
hadis shahih dengan “hadis yang
bersambung sanadnya,
dfiriwayatkan oleh perowi yang
adil dan dhobit, tidak syadz dan
tidak ber’ilat”.
Defisi hadis shahih secara konkrit
baru muncul setelah Imam Syafi’i
memberikan penjelasan tentang
riwayat yang dapat dijadikan
hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh
para perowi yang dapat dipercaya
pengamalan agamanya, dikenal
sebagai orang yang jujur
mermahami hadis yang
diriwayatkan dengan baik,
mengetahui perubahan arti hadis
bila terjadi perubahan lafadnya;
mampu meriwayatkan hadis
secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan
hadis secara lafad, bunyi hadis
yang Dia riwayatkan sama dengan
hadis yang diriwayatkan orang lain
dan terlepas dari tadlis
(penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya
bersambung sampai kepada Nabi
SAW. atau dapat juga tidak sampai
kepada Nabi.
Imam Bukhori dan Imam Muslim
membuat kriteria hadis shahih
sebagai berikut:
1) Rangkaian perawi dalam
sanad itu harus bersambung mulai
dari perowi pertama sampai perowi
terakhir.
2) Para perowinya harus terdiri
dari orang-orang yang dikenal
siqat, dalam arti adil dan dhobith,
3) Hadisnya terhindar dari ‘ilat
(cacat) dan syadz (janggal), dan
4) Para perowi yang terdekat
dalam sanad harus sejaman.
I.2 Syarat-Syarat Hadis Shahih
Berdasarkan definisi hadis shahih
diatas, dapat dipahami bahwa
syarat-syarat hadis shahih dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi
dari perowi lainnya benar-benar
mengambil secara langsung dari
orang yang ditanyanya, dari sejak
awal hingga akhir sanadnya.
Untuk mengetahui dan
bersambungnya dan tidaknya
suatu sanad, biasanya ulama’ hadis
menempuh tata kerja sebagai
berikut;
1. Mencatat semua periwayat yang
diteliti,
2. Mempelajari hidup masing-masing
periwayat,
3. Meneliti kata-kata yang
berhubungan antara para
periwayat dengan periwayat
yang terdekat dalam sanad,
yakni apakah kata-kata yang
terpakai berupa haddasani,
haddasani, akhbarana, akhbarani,
‘an,anna, atau kasta-kata lainnya.
b. Perawinya Bersifat Adil
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi
itu seorang Muslim, bersetatus
Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan
tidak pula jelek prilakunya.
Dalam menilai keadilan seorang
periwayat cukup dilakuakan
dengan salah satu teknik berikut:
1. keterangan seseorang atau
beberapa ulama ahli ta’dil bahwa
seorang itu bersifat adil,
sebagaimana yang disebutkan
dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
2. ketenaran seseorang bahwa ia
bersifast adil, sdeperti imam empat
Hanafi,Maliki, Asy-Syafi’i, dan
Hambali.
khusus mengenai perawi hadis
pada tingkat sahabat, jumhur
ulama sepakat bahwa seluruh
sahabat adalah adil. Pandangan
berbeda datang dari golongan
muktazilah yang menilai bahwa
sahabat yang terlibat dalam
pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq,
dan periwayatannya pun ditolak.
c. Perowinya Bersifat Dhobith
Maksudnya masing-masing
perowinya sempurna daya
ingatannya, baik berupa kuat
ingatan dalam dada maupun
dalam kitab (tulisan).
Dhobith dalam dada ialah
terpelihara periwayatan dalam
ingatan, sejak ia maneriama hadis
sampai meriwayatkannya kepada
orang lain, sedang, dhobith dalam
kitab ialah terpeliharanya
kebenaran suatu periwayatan
melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhobitan
perowi, nmenurut para ulama,
dapat diketahui melalui:
1. kesaksian para ulama
2. berdasarkan kesesuaian
riwayatannya dengan riwayat dari
orang lain yang telah dikenal
kedhobithannya.
d. Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu benar-
benar tidak syadz, dalam arti
bertentangan atau menyalesihi
orang yang terpercaya dan
lainnya.
Menurut al-Syafi’i, suatu hadis tidak
dinyastakan sebagai mengandung
syudzudz, bila hadis itu hanya
diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang tsiqah, sedang
periwayat yang tsiqah lainnya
tidak meriwayatkan hadis itu.
Artinya, suatu hadis dinyatakan
syudzudz, bila hadisd yang
diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang tsiqah tersebut
bertentengan dengan hadis yang
dirirwayatkan oleh banyak
periwayat yang juga bersifat
tsiqah.
e. Tidak Ber’ilat
Maksudnya ialah hadis itu tidak
ada cacatnya, dalam arti adanya
sebab yang menutup tersembunyi
yang dapat menciderai pada ke-
shahih-an hadis, sementara
dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad
mapun pada matan atau pada
keduanya secara bersama-sama.
Namun demikian, ‘illat yang paling
banyak terjadi adalah pada sanad,
seperti menyebutkan muttasil
terhadap hadis yang munqati’ atau
mursal.
I.3. Pembagian Hadis Shahih
Para ahli hadis membagi hadis
shahih kepada dua bagian, yaitu
shahih li-dzati dan shahih li-ghoirih.
perbedaan antara keduanya
terletak pada segi hafalan atau
ingatan perowinya. pada shahih li-
dzatih, ingatan perowinya
sempurna, sedang pada hadis
shahih li-ghoirih, ingatan perowinya
kurang sempurna.
a.Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat
lima tersebut benar-benar telah
terbukti adanya,bukan dia itu
terputus tetapi shahih dalam
hakikat masalahnya, karena
bolehnya salah dan khilaf bagi
orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut
tidak terbukti adanya lima syarat
hadis shahih tersebut baik
keseluruhan atau sebagian. Bukan
berarti sama sekali dusta,
mengingat bolehnya berlaku bagi
orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis
hasan li-dzatihi apabila
diriwayatkan melamui jalan yang
lain oleh perowi yang sama
kualitasnya atau yang lebih kuat
dari padanya.
I.4 Kehujahan Hadis Shahih
Hadis yang telah memenuhi
persyaratan hadis shahih wajib
diamalkan sebagai hujah atau dalil
syara’ sesuai ijma’ para uluma
hadis dan sebagian ulama ushul
dan fikih. Kesepakatan ini terjadi
dalam soal-soal yang berkaitan
dengan penetapan halal atau
haramnya sesuatu, tidak dalam
hal-hal yang berhubungan dengan
aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan
dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-
Quran dan hadis mutawatir. oleh
karena itu, hadis ahad tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan
persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan aqidah.
I.5 Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat
hadis shahih itu tergantung tinggi
dan rendahnya kepada ke-dhabit-
an dan keadilan para perowinya.
Berdasarkan martabat seperti ini,
para muhadisin membagi tingkatan
sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu
rangkaian sanad yang paling tinggi
derajatnya. seperti periwayatan
sanad dari Imam Malik bin Anas
dari Nafi’ mawla (mawla = budak
yang telah dimerdekakan) dari
Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu
rangkaian sanad hadis yang yang
tingkatannya dibawash tingkat
pertama diatas. Seperti
periwayatan sanad dari Hammad
bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu
rangkaian sanad hadis yang
tingkatannya lebih rendah dari
tingkatan kedua. seperti
periwayatan Suhail bin Abu Shalih
dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang
terpenuhi dapat dibagi menjadi
tujuh tingkatan, yang secara
berurutan sebagai berikut:
a) Hadis yang disepakati oleh
bukhari dan muslim (muttafaq
‘alaih),
b) Hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhori saja,
c) Hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim saja,
d) Hadis yang diriwayatkan
orang lain memenuhi persyaratan
AL-Bukhari dan Muslim,
e) Hadis yang diriwayatkan
orang lain memenuhi persyaratan
Al-Bukhari saja,
f) Hadis yang diriwayatkan
orang lain memenuhi persyaratan
Muslim saja,
g) Hadis yang dinilai shahih
menurut ilama hadis selain Al-
Bukhari dan Muslim dan tidak
mengikuti persyratan keduanya,
seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang
menghimpun hadis shahih secara
berurutan sebagai berikut:
1. Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2. Shahih Muslim (w. 261 H).
3. Shahih Ibnu Khuzaimah (w.
311 H).
4. Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5. Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6. Shahih Ibn As-Sakan.
7. Shahih Al-Abani.
II. HADIS HASAN
II.1 Pengertian Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-
jamal, yaitu indah. Hasan juga
dapat juga berarti sesuatu sesuatu
yang disenangi dan dicondongi oleh
nafsu. Sedangkan para ulama
berbeda pendapat dalam
mendefinisikan hadis hasan karena
melihat bahwa ia meupakan
pertengahan antara hadis shahih
dan hadis dha’if, dan juga karena
sebagian ulama mendefinisikan
sebagai salah satu bagiannya.
Sebagian dari definisinya yaitu:
1. definisi al- Chatabi: adalah hadis
yang diketahui tempat keluarnya,
dan telah mashur rawi-rawi
sanadnya, dan kepadanya tempat
berputar kebanyakan hadis, dan
yang diterima kebanyakan ulama,
dan yang dipakai oleh umumnya
fukoha’
2. definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis
yang diriwayatkan, dimana dalam
sanadnya tidak ada yang dituduh
berdusta, serta tidak ada syadz
(kejangalan), dan diriwatkan dari
selain jalan sepereti demikian,
maka dia menurut kami adalah
hadis hasan.
3. definisi Ibnu Hajar: beliau berkata,
adalah hadis ahad yang
diriwayatkan oleh yang adil,
sempurna ke-dhabit-annya,
bersanbung sanadnya, tidak cacat,
dan tidak syadz (janggal) maka dia
adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu
jika ringan ke-dhabit-annya maka
dia adalah hadis hasan li dszatihi.
Kriteria hadis hasan sama dengan
kriteria hadis shahih. Perbedaannya
hanya terletak pada sisi ke-dhabit-
annya. yaitu hadis shahih lebih
sempurna ke-dhabit-annya
dibandingkan dengan hadis hasan.
Tetapi jika dibandingkan dengan
ke-dhabit-an perawi hadis dha’if
tentu belum seimbang, ke-dhabit-
an perawi hadis hasan lebih unggul.
II.2 Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang
terbagi menjadi dua macam, hadis
hasasn pun terbagi menjadi dua
macam, yaitu hasan li-dzatih dan
hasan li-ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis
yang telah memenuhi persyaratan
hadis hasan yang telah ditentukan.
pengertian hadis hasan li-dzatih
sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi
persyaratan secara sempurna.
dengan kata lain, hadis tersebut
pada dasarnya adalah hadis dha’if,
akan tetapi karena adanya sanad
atau matan lain yang
menguatkannya (syahid atau
muttabi’), maka kedudukan hadis
dha’if tersebut naik derajatnya
menjadi hadis hasan li-ghairih.
II.3 Kehujahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya
hadis shahih, meskipun derajatnya
dibawah hadis shahih, adalah hadis
yang dapat diterima dan
dipergunakan sebagai dalil atau
hujjah dalam menetapkan suatu
hukum atau dalam beramal.
Paraulama hadis, ulama ushul fiqih,
dan fuqaha sepakat tentang
kehujjahan hadis hasan.
III. HADIST DHAIF
III.1 Definisi Hadist Dhaif
Pengertian hadits dhaif Secara
bahasa, hadits dhaif berarti hadits
yang lemah. Para ulama memiliki
dugaan kecil bahwa hadits tersebut
berasal dari Rasulullah SAW.
Dugaan kuat mereka hadits
tersebut tidak berasal dari
Rasulullah SAW. Adapun para
ulama memberikan batasan bagi
hadits dhaif sebagai berikut : “
Hadits dhaif ialah hadits yang tidak
memuat / menghimpun sifat-sifat
hadits shahih, dan tidak pula
menghimpun sifat-sifat hadits
hasan”.
III.2 Macam-macam hadits dhaif
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu : hadits
dhaif karena gugurnya rawi dalam
sanadnya, dan hadits dhaif karena
adanya cacat pada rawi atau
matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya
rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya
rawi adalah tidak adanya satu atau
beberapa rawi, yang seharusnya
ada dalam suatu sanad, baik pada
permulaan sanad, maupun pada
pertengahan atau akhirnya. Ada
beberapa nama bagi hadits dhaif
yang disebabkan karena gugurnya
rawi, antara lain yaitu :
1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa,
berarti hadits yang terlepas. Para
ulama memberikan batasan bahwa
hadits mursal adalah hadits yang
gugur rawinya di akhir sanad. Yang
dimaksud dengan rawi di akhir
sanad ialah rawi pada tingkatan
sahabat yang merupakan orang
pertama yang meriwayatkan
hadits dari Rasulullah SAW.
(penentuan awal dan akhir sanad
adalah dengan melihat dari rawi
yang terdekat dengan imam yang
membukukan hadits, seperti
Bukhari, sampai kepada rawi yang
terdekat dengan Rasulullah). Jadi,
hadits mursal adalah hadits yang
dalam sanadnya tidak
menyebutkan sahabat Nabi,
sebagai rawi yang seharusnya
menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah bersabda, “ Antara kita
dan kaum munafik munafik (ada
batas), yaitu menghadiri jama’ah
isya dan subuh; mereka tidak
sanggup menghadirinya”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Imam Malik, dari Abdurrahman,
dari Harmalah, dan selanjutnya dari
Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat
Nabi yang meriwayatkan hadits itu
kepada Sa’id bin Mustayyab,
tidaklah disebutkan dalam sanad
hadits di atas.
Kebanyakan Ulama memandang
hadits mursal ini sebagai hadits
dhaif, karena itu tidak bisa diterima
sebagai hujjah atau landasan
dalam beramal. Namun, sebagian
kecil ulama termasuk Abu Hanifah,
Malik bin Anas, dan Ahmad bin
Hanbal, dapat menerima hadits
mursal menjadi hujjah asalkan para
rawi bersifat adil.
2) Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut
etimologi ialah hadits yang
terputus. Para ulama memberi
batasan bahwa hadits munqathi’
adalah hadits yang gugur satu atau
dua orang rawi tanpa beriringan
menjelang akhir sanadnya. Bila
rawi di akhir sanad adalah sahabat
Nabi, maka rawi menjelang akhir
sanad adalah tabi’in. Jadi, pada
hadits munqathi’ bukanlah rawi di
tingkat sahabat yang gugur, tetapi
minimal gugur seorang tabi’in. Bila
dua rawi yang gugur, maka kedua
rawi tersebut tidak beriringan, dan
salah satu dari dua rawi yang
gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :
Rasulullah SAW. bila masuk ke
dalam mesjid, membaca “dengan
nama Allah, dan sejahtera atas
Rasulullah; Ya Allah, ampunilah
dosaku dan bukakanlah bagiku
segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali
Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim,
dari Laits, dari Abdullah bin Hasan,
dari Fatimah binti Al-Husain, dan
selanjutnya dari Fathimah Az-
Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits
di atas adalah hadits munqathi’,
karena Fathimah Az-Zahra (putri
Rasul) tidak berjumpa dengan
Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada
rawi yang gugur (tidak disebutkan)
pada tingkatan tabi’in.
3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal
adalah hadits yang sulit dipahami.
Batasan yang diberikan para ulama
bahwa hadits mu’dhal adalah
hadits yang gugur dua orang
rawinya, atau lebih, secara
beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam
Malik mengenai hak hamba, dalam
kitabnya “Al-Muwatha” yang
berbunyi : Imam Malik berkata :
Telah sampai kepadaku, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
Artinya :
Budak itu harus diberi makanan
dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik
tersebut, tidak memaparkan dua
orang rawi yang beriringan antara
dia dengan Abu Hurairah. Kedua
rawi yang gugur itu dapat
diketahui melalui riwayat Imam
Malik di luar kitab Al-Muwatha.
Imam Malik meriwayatkan hadits
yang sama : Dari Muhammad bin
Ajlan , dari ayahnya, dari Abu
Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi
yang gugur adalah Muhammad bin
Ajlan dan ayahnya.
4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq
berarti hadits yang tergantung.
Batasan para ulama tentang hadits
ini ialah hadits yang gugur satu
rawi atau lebih di awal sanad atau
bisa juga bila semua rawinya
digugurkan ( tidak disebutkan ).
Contoh :
Bukhari berkata : Kata Malik, dari
Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu
Huraira, bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
Artinya :
Janganlah kamu melebihkan
sebagian nabi dengan sebagian
yang lain.
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia
sebenarnya tidak pernah bertemu
dengan Malik. Dengan demikian,
Bukhari telah menggugurkan satu
rawi di awal sanad tersebut. Pada
umumnya, yang termasuk dalam
kategori hadits mu’allaq
tingkatannya adalah dhaif, kecuali
1341 buah hadits muallaq yang
terdapat dalam kitab Shahih
Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap
dipandang shahih, karena Bukhari
bukanlah seorang mudallis ( yang
menyembunyikan cacat hadits ).
Dan sebagian besar dari hadits
mu’allaqnya itu disebutkan seluruh
rawinya secara lengkap pada
tempat lain dalam kiab itu juga.
b. Hadits dhaif karena cacat
pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat
menimpa rawi ataupun matan.
Seperti pendusta, fasiq, tidak
dikenal, dan berbuat bid’ah yang
masing-masing dapat
menghilangkan sifat adil pada rawi.
Sering keliru, banyak waham,
hafalan yang buruk, atau lalai
dalam mengusahakan hafalannya,
dan menyalahi rawi-rawi yang
dipercaya. Ini dapat
menghilangkan sifat dhabith pada
perawi. Adapun cacat pada matan,
misalkan terdapat sisipan di
tengah-tengah lafadz hadits atau
diputarbalikkan sehingga memberi
pengertian yang berbeda dari
maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena
cacat pada matan atau rawi :
1) Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki
pengertian hadits palsu atau
dibuat-buat. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadis
maudhu’ ialah hadits yang bukan
berasal dari Rasulullah SAW. Akan
tetapi disandarkan kepada dirinya.
Golongan-golongan pembuat hadits
palsu yakni musuh-musuh Islam
dan tersebar pada abad-abad
permulaan sejarah umat Islam,
yakni kaum yahudi dan nashrani,
orang-orang munafik, zindiq, atau
sangat fanatic terhadap golongan
politiknya, mazhabnya, atau
kebangsaannya .
Hadits maudhu’ merupakan
seburuk-buruk hadits dhaif.
Peringatan Rasulullah SAW
terhadap orang yang berdusta
dengan hadits dhaif serta
menjadikan Rasul SAW sebagai
sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja
berdusta terhadap diriku, maka
hendaklah ia menduduki tempat
duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa
contoh hadits maudhu’:
a) Hadits yang dikarang oleh
Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam;
ia katakana bahwa hadits itu
diterima dari ayahnya, dari
kakeknya, dan selanjutnya dari
Rasulullah SAW. berbunyi :
“Sesungguhnya bahtera Nuh
bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh
kali dan shalat di maqam Ibrahim
dua rakaat” Makna hadits tersebut
tidak masuk akal.
b) adapun hadits lainnya :
“anak zina itu tidak masuk surga
tujuh turunan”. Hadits tersebut
bertentangan dengan Al-Qur’an. ”
Pemikul dosa itu tidaklah memikul
dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )
c) “Siapa yang memperoleh
anak dan dinamakannya
Muhammad, maka ia dan anaknya
itu masuk surga”. “orang yang
dapat dipercaya itu hanya tiga,
yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril,
dan Muawiyah”.
Demikianlah sedikit uraian
mengenai hadits maudhu’. Masih
banyak hadits-hadits lainnya yang
sengaja dibuat oleh pihak kufar.
Sedikit sejarah, berdasarkan
pengakuan dari mereka yang
memalsukan, seperti Maisarah bin
Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia
mengaku telah membuat
beberapa hadits tentang
keutamaan Al-Qur’an dan 70 buah
hadits tentang keutamaan Ali bin
Abi Thalib. Abdul Karim, seorang
zindiq, sebelum dihukum pancung
ia telah memalsukan hadits dan
mengatakan : “aku telah membuat
3000 hadits; aku halalkan barang
yang haram dan aku haramkan
barang yang halal”.
2) Hadits matruk atau hadits
mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti
hadits yang ditinggalkan / dibuang.
Para ulama memberikan batasan
bahwa hadits matruk adalah hadits
yang diriwayatkan oleh orang-
orang yang pernah dituduh
berdusta ( baik berkenaan dengan
hadits ataupun mengenai urusan
lain ), atau pernah melakukan
maksiat, lalai, atau banyak
wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah
Saw bersabda, sekiranya tidak ada
wanita, tentu Allah dita’ati dengan
sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim
dengan sanad yang terdiri dari
serentetan rawi-rawi, seperti :
Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin
Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan
ayahnya, Said bin mutstayyab, dan
Umar bin Khaththab. Diantara
nama-nama dalam sanad tersebut,
ternyata Abdur Rahim dan
ayahnya pernah tertuduh
berdusta. Oleh karena itu, hadits
tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa
berarti hadits yang diingkari atau
tidak dikenal. Batasan yang
diberikan para ‘ulama bahwa hadits
munkar ialah hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang lemah
dan menyalahi perawi yang kuat,
contoh :
Artinya: “Barangsiapa yang
mendirikan shalat, membayarkan
zakat, mengerjakan haji, dan
menghormati tamu, niscaya masuk
surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi
yang lemah dan matannya pun
berlainan dengan matan-matan
hadits yang lebih kuat.
4) Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal
berarti hadits yang terkena illat .
Para ulama memberi batasan
bahwa hadits ini adalah hadits
yang mengandung sebab-sebab
tersembunyi , dan illat yang
menjatuhkan itu bisa terdapat
pada sanad, matan, ataupun
keduanya. Contoh :
Rasulullah bersabda, “penjual dan
pembeli boleh berkhiyar, selama
mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Ya’la bin Ubaid dengan bersanad
pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru
bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu
umar. Matan hadits ini sebenarnya
shahih, namun setelah diteliti
dengan seksama, sanadnya
memiliki illat. Yang seharusnya dari
Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru
bin Dinar.
5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian
hadits yang dimasuki sisipan, yang
sebenarnya bukan bagian dari
hadits itu. Contoh :
Rasulullah bersabda : “Saya adalah
za’im ( dan za’im itu adah
penanggung jawab ) bagi orang
yang beriman kepadaku, dan
berhijrah; dengan tempat tinggal di
taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut
adalah sisipan ( dengan tempat
tinggal di taman surga ), karena
tidak termasuk sabda Rasulullah
SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits
yang diputarbalikkan. Para ulama
menerangkan bahwa terjadi
pemutarbalikkan pada matannya
atau pada nama rawi dalam
sanadnya atau penukaran suatu
sanad untuk matan yang lain.
Contoh :
Rasulullah SAW bersabda : Apabila
aku menyuruh kamu mengerjakan
sesuatu, maka kerjakanlah dia;
apabila aku melarang kamu dari
sesuatu, maka jauhilah ia sesuai
kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-
Tabrani)
Berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, semestinya hadits tersebut
berbunyi : Rasulullah SAW
bersabda : “Apa yang aku larag
kamu darinya, maka jauhilah ia,
dan apa yang aku suruh kamu
mengerjakannya, maka
kerjakanlah ia sesuai dengan
kesanggupan kamu”.
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti
hadits ayng ganjil. Batasan yang
diberikan para ulama, hadits syadz
adalah hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang dipercaya, tapi
hadits itu berlainan dengan hadits-
hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah rawi yang juga dipercaya.
Haditsnya mengandung keganjilan
dibandingkan dengan hadits-hadits
lain yang kuat. Keganjilan itu bisa
pada sanad, pada matan, ataupun
keduanya.
Contoh :
“Rasulullah bersabda : “Hari arafah
dan hari-hari tasyriq adalah hari-
hari makan dan minum.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Musa bin Ali bin Rabah dengan
sanad yang terdiri dari serentetan
rawi-rawi yang dipercaya, namun
matan hadits tersebut ternyata
ganjil, jika dibandingkan dengan
hadits-hadits lain yang
diriwayatkan oleh rawi-rawi yang
juga dipercaya. Pada hadits-hadits
lain tidak dijumpai ungkapan .
Keganjilan hadits di atas terletak
pada adanya ungkapan tersebut,
dan merupakan salah satu contoh
hadits syadz pada matannya.
Lawan dari hadits ini adalah hadits
mahfuzh.
III.3 Kehujahan Hadits dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para
ulama hadits kelas berat semacam
Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani
menyebutkan bahwa hadits dhaif
boleh digunakan, dengan beberapa
syarat:
1. Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits
dhaif itu sangat banyak jenisnya
dan banyak jenjangnya. Dari yang
paling parah sampai yang
mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih
ada di antara hadits dhaif yang
bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan
dalam perkara aqidah dan syariah
(hukum halal haram). Hadits yang
level kedhaifannya tidak terlalu
parah, boleh digunakan untuk
perkara fadahilul a’mal
(keutamaan amal).
1. Berada di bawah Nash Lain yang
Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu
kalau mau dijadikan sebagai dasar
dalam fadhailul a’mal, harus
didampingi dengan hadits lainnya.
Bahkan hadits lainnya itu harus
shahih. Maka tidak boleh hadits
dha’if jadi pokok, tetapi dia harus
berada di bawah nash yang sudah
shahih.
1. Ketika Mengamalkannya, Tidak
Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita
mengamalkan hadits dhaif itu, kita
tidak boleh meyakini 100% bahwa
ini merupakan sabda Rasululah
SAW atau perbuatan beliau. Tetapi
yang kita lakukan adalah bahwa
kita masih menduga atas kepastian
datangnya informasi ini dari
Rasulullah SAW.
Sikap Ulama Terhadap Hadits
Dhaif :
Sebenarnya kalau kita mau jujur
dan objektif, sikap ulama terhadap
hadits dhaif itu sangat beragam.
Setidaknya kami mencatat ada
tiga kelompok besar dengan
pandangan dan hujjah mereka
masing-masing. Dan menariknya,
mereka itu bukan orang
sembarangan. Semuanya adalah
orang-orang besar dalam bidang
ilmu hadits serta para spesialis.
Maka posisi kita bukan untuk
menyalahkan atau menghina salah
satu kelompok itu. Sebab
dibandingkan dengan mereka, kita
ini bukan apa-apanya dalam
konstalasi para ulama hadits.
1) Kalangan Yang Menolak
Mentah-mentah Hadits Dhaif
Namun harus kita akui bahwa di
sebagian kalangan, ada juga pihak-
pihak yang ngotot tetap tidak mau
terima kalau hadits dhaif itu masih
bisa ditolelir.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama
sekali tidak akan dipakai untuk apa
pun juga. Baik masalah keutamaan
(fadhilah), kisah-kisah, nasehat
atau peringatan. Apalagi kalau
sampai masalah hukum dan
aqidah. Pendeknya, tidak ada
tempat buat hadits dhaif di hati
mereka.
Di antara mereka terdapat nama
Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam
Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya
bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya.
Di zaman sekarang ini, ada tokoh
seperti Al-Albani dan para
pengikutnya.
2) Kalangan Yang Menerima
Semua Hadits Dhaif
Jangan salah, ternyata ada juga
kalangan ulama yang tetap
menerima semua hadits dhaif.
Mereka adalah kalangan yang
boleh dibilang mau menerima
secara bulat setiap hadits dhaif,
asal bukan hadits palsu (maudhu’).
Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya
suatu hadits, tetap saja lebih tinggi
derajatnya dari akal manusia dan
logika.
Di antara para ulama yang sering
disebut-sebut termasuk dalam
kelompok ini antara lain Al-Imam
Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab
Hanbali. Mazhab ini banyak dianut
saat ini antara lain di Saudi Arabia.
Selain itu juga ada nama Al-Imam
Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul
Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan
bawa mereka berkata, ‘Bila kami
meriwayatkan hadits masalah halal
dan haram, kami ketatkan. Tapi
bila meriwayatkan masalah
fadhilah dan sejenisnya, kami
longgarkan.”
3) Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan yang
masih mau menerima sebagian
dari hadits yang terbilang dhaif
dengan syarat-syarat tertentu.
Mereka adalah kebanyakan ulama,
para imam mazhab yang empat
serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat yang mereka ajukan
untuk menerima hadits dhaif
antara lain, sebagaimana diwakili
oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga
Al-Imam An-Nawawi
rahimahumalah, adalah:
• Hadits dhaif itu tidak terlalu parah
kedhaifanya. Sedangkan hadits
dha’if yang perawinya sampai ke
tingkat pendusta, atau tertuduh
sebagai pendusta, atau parah
kerancuan hafalannya tetap tidak
bisa diterima.
• Hadits itu punya asal yang
menaungi di bawahnya
• Hadits itu hanya seputar masalah
nasehat, kisah-kisah, atau anjuran
amal tambahan. Bukan dalam
masalah aqidah dan sifat Allah,
juga bukan masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya jangan
disertai keyakinan atas tsubut-nya
hadits itu, melainkan hanya
sekedar berhati-hati.
Semua keterangan di atas, jelas
bukan pendapat kami. Semua itu
adalah pendapat para ulama pakar
ilmu hadits. Kami ini bukan berada
dalam posisi untuk mengkritisi
salah satunya. Sebab beda maqam
dan beda posisi.
BAB III
KESIMPULAN
Pada materi hadits dhaif ini, dapat
kita petik kesimpulan bahwa kajian
ke-islaman itu sangatlah luas.
Menunjukkan betapa maha
kuasanya Allah dalam memberikan
kepahaman terhadap hamba-
hambanya.
ﻭَﺍﻟﻠّﻪُ ﻏَﺎﻟِﺐٌ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﻭَﻟَـﻜِﻦَّ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ
ﻻَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Dan Allah berkuasa terhadap
urusan-Nya, tetapi kebanyakan
manusia tiada
mengetahuinya.” (QS. Yûsuf [12]:
21)
Meskipun ada sebagian kaum
muslimin mengingkari Qur’an dan
Hadits ( terlebih hadits dhaif ),
maka itulah yang perlu kita
luruskan bersama. Karena
sesungguhnya Allah SWT.
berfirman :
“(Dan) kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan
belaka. Sesung- guhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun
berguna untuk mencapai
kebenaran.”(QS Yunus 36).
“Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian. Kecuali orang-
orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh dan
nasehat-menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nesehat-
menasehati supaya menetapi
kebenaran”.(TQS Al-‘Ashr [103] :
1-3)
Terbaginya hadits dhaif dalam dua
bagian; karena gugurnya rawi dan
atau karena cacat pada rawi atau
matan semakin memudahkan kita
untuk mengetahui sebab-sebab
mengapa hadits-hadits menjadi
dhaif, baik dari segi rawinya
( orang yang meriwayatkan ),
sanad, maupun matannya.
Setiap Muslim diperintahkan untuk
memiliki kepribadian Islam
(syakhshiyah islâmiyah).
Kepribadian Islam itu mencakup
cara berpikir islami (’aqliyyah
islâmiyyah) dan pola sikap islami
(nafsiyyah islâmiyah). Dengan
‘aqliyyah islâmiyyah seseorang
dapat mengeluarkan keputusan
hukum tentang benda, perbuatan,
dan peristiwa sesuai dengan
hukum-hukum syariah. Dia dapat
mengetahui mana yang halal dan
mana yang haram serta mana
yang terpuji dan mana yang
tercela berdasarkan syariah Islam.
Melalui ‘aqliyyah islâmiyyah
seorang Muslim juga akan memiliki
kesadaran dan pemikiran yang
matang, mampu menyatakan
ungkapan yang kuat dan tepat,
serta mampu menganalisis
berbagai peristiwa dengan benar.
Namun, ‘aqliyyah islâmiyyah saja
tidak cukup. Banyak ilmu saja tidak
cukup. Tidak jarang, orang pintar
bicara, pandai berdebat tentang
dalil, tetapi apa yang diomongkan
berbeda dengan apa yang
dilakukan.
Karena itu, kepribadian Islam tidak
cukup dengan ‘aqliyyah islâmiyyah
melainkan harus dipadukan
dengan nafsiyyah .
Dengan mengetahui Ilmu Hadits
( di sini lebih dikhususkan hadits
dhaif ), tentu akan membuat
aqliyah kita menjadi semakin
terpacu untuk berpikir dan
menggali pengetahuan secara lebih
mendalam serta dilandasi nafsiyah
( sikap ) keimanan dan ketakwaan
yang mantap, termotivasi untuk
terus mencari dan
mengamalkannya karena
pembahasan dalam makalah ini
hanyalah berisi sebagian kecilnya
saja.
DAFTAR PUSTAKA
Hadits-Ilmu Hadits. Departemen
Agama RI. Jakarta, Oktober 1992.
www. eramuslim.com
Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-
Islâmiyyah : Syekh Taqiuddin An-
Nabhani,HT I Press
http://
ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/
hadits-dhaif.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar