Oleh : Muh.yasin fii sabilillah
Syarat paling utama suatu amalan
diterima di sisi Allah adalah ikhlas.
Tanpanya, amalan seseorang akan
sia-sia belaka. Syaitan tidak henti-
hentinya memalingkan manusia,
menjauhkan mereka dari keikhlasan. Salah satunya adala melalui pintu riya’ yang banyak tidak disadari setiap
hamba. Yang dimaksud riya ’ adalah melakukan suatu amalan agar orang
lain bisa melihatnya kemudian memuji
dirinya. Termasuk ke dalam riya ’ yaitu sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar
apa yang kita lakukan, sehinga pujian
dan ketenaran pun datang tenar. Riya ’ dan semua derivatnya merupakan
perbuatan dosa dan merupakan sifat
orang-orang munafik. Hukum Riya ’ Riya’ ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar. Hal
ini terjadi jika sesorang melakukan
seluruh amalnya agar dilihat manusia,
dan tidak sedikit pun mengharap
wajah Allah. Dia bermaksud bisa
bebas hidup bersama kaum muslimin, menjaga darah dan hartanya. Inilah
riya’ yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Allah berfirman tentang
keadaan mereka (yang artinya),
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka . Dan apabila
mereka berdiri untuk shalat mereka
berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di
hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
sekali ” (QS. An Nisaa ’:142). Adapun yang kedua adalah riya ’ yang terkadang menimpa orang yang
beriman. Sikap riya ’ ini terjadang muncul dalam sebagian amal.
Seseorang beramal karena Allah dan
juga diniatkan untuk selain Allah. Riya ’ jenis seperti ini merupakan perbuatan
syirik asghar.[1] Jadi, hukum asal riya ’ adalah syirik asghar (syirik kecil). Namun, riya ’ bisa berubah hukumnya menjadi syirik
akbar (syirik besar) dalam tiga
keadaan berikut : 1. Jika seseorang riya ’ kepada manusia dalam pokok keimanan.
Misalnya seseorang yang
menampakkan dirinya di hadapan
manusia bahwa dia seorang mukmin
demi menjaga harta dan darahnya. 2. Jika riya ’ dan sum’ah mendominasi dalam seluruh jenis
amalan seseorang. 3. Jika seseorang dalam amalannya
lebih dominan menginginkan tujuan
dunia, dan tidak mengharapkan
wajah Allah.[2] Ibadah yang Tercampur Riya ’ Bagaimanakah status suatu amalan
ibadah yang tercampu riya’? Hukum masalah ini dapat dirinci pada
beberapa keadaan. Jika seseorang
beribadah dengan maksud pamer di
hadapan manusia, maka ibadah
tersebut batal dan tidak sah. Adapun
jika riya ’ atau sum’ah muncul di tengah-tengah ibadah maka ada dua
keadaan. Jika amalan ibadah tersebut
berhubungan antara awal dan
akhirnya, misalnya ibadah sholat,
maka riya ’ akan membatalkan ibadah tersebut jika tidak berusaha
dihilangkan dan tetap ada dalam
ibadah tersebut. Jenis yang kedua
adalah amalan yang tidak
berhubungan antara bagian awal dan
akhir, shodaqoh misalnya. Apabila seseorang bershodaqoh seratus ribu,
lima puluh ribu dari yang dia
shodaqohkan tercampuri riya ’, maka shodaqoh yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan yang lain
tidak.[3] Jika Demikiain Keadaan Para
Sahabat, Bagaimana dengan Kita? Penyakit riya ’ dapat menjangkiti siapa saja, bahkan orang alim sekali pun.
Termasuk juga para sahabat Nabi
radhiyallahu ‘anhum. Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini.
Keteguhan iman mereka sudah teruji,
pengorbanan mereka terhadap Islam
sudah tidak perlu diragukan lagi.
Namun demikian, Nabi shalallahu
‘alaihi wa salaam masih mengkhawatirkan riya ’menimpa mereka. Beliau bersabda, Sesuatu
yang aku khawatrikan menimpa
kalian adalah perbuatan syirik asghar.
Ketika beliau ditanya tentang
maksudnya, beliau menjawab:
‘(contohnya) adalah riya’ ”[4] Dalam hadist di atas terdapat pelajaran
tentang takut kapada syirik. Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kesyirikan menimpa sahabat
muhajirin dan anshor, sementara
mereka adalah sebaik-baik umat.
Maka bagaimana terhadap umat selain
mereka? Jika yang beliau khawatirkan
menimpa mereka adalah syirik asghar yang tidak mengeluarkan dari Islam,
bagaimana lagi dengan syirik akbar?
Wal ‘iyadzu billah !! [5] Lebih Bahaya dari Fitnah Dajjal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Maukah kamu kuberitahu tentang sesuatau yang menurutku
lebih aku khawatirkan terhadap
kalian daripada (fitnah) Al masih Ad
Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika
sesorang berdiri mengerjakan shalat,
dia perbagus shalatnya karena
mengetahui ada orang lain yang
memperhatikannya “[ 6] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa riya ’ termasuk syirik khafi yang samar dan
tersembunyi. Hal ini karena riya ’ terkait dengan niat dan termasuk
amalan hati, yang hanya diketahui
oleh Allah Ta ’ala. Tidak ada seseorang pun yang mengetahui niat dan
maksud seseorang kecuali Allah
semata. Hadist di atas menunjukkan
tentang bahaya riya’, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir riya’ menimpa para sahabat yang merupakan umat terbaik, apalagi
terhadap selain mereka. Kekhawatiran
beliau lebih besar daripada
kekhawatiran terhadap ancaman
fitnah Dajjal karena hanya sedikit yang
dapat selamat dari bahaya riya’ ini. Fitnah Dajjal yang begitu berbahaya,
hanya menimpa pada orang yag
hidup pada zaman tertentu,
sedangkan bahaya riya ’ menimpa seluruh manusia di setiap zaman dan
setiap saat.[7] Berlindung dari Bahaya Riya ’ Berhubung masalah ini sangat
berbahaya seperti yang telah
dijelaskan di atas, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa
untuk melindungi diri kita dari syirik
besar maupun syirik kecil. Rasululllah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita melalui sabdanya,
‘Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih
samar daripada rayapan seekor
semut.’ Lalu ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara
ia lebih samar daripada rayapan
seekor semut ?’ Rasulullah berkata, ‘Ucapkanlah Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a ’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari.
Dan aku memohon ampun kepada-Mu
atas dosa-dosa yang tidak aku
ketahui). ”[8] Tidak Tergolong Riya ’ Al Imam an Nawawi rahimahullah
membuat suatu bab dalam kitab
Riyadus Shalihin dengan judul,
“Perkara yang dianggap manusia sebagai riya’ namun bukan termasuk riya’ “. Beliau membawakan hadist dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal
kebaikan kemudian dia mendapat
pujian dari manusia?: Beliau
menjawab, “Itu adalah kebaikan yang disegerakan bagi seorang mukmin
“ (H.R. Muslim 2642). Di antara amalan-amalan yang tidak
termasuk riya ’ adalah : 1. Rajin beribadah ketika bersama orang shalih. Hal ini terkadang menimpa ketika seseorang
berkumpul dengan orang-orang
shaleh sehingga lebih semangat
dalam beribadah. Hal ini tidak
termasuk riya ’. Ibnu Qudamah mengatakan, “Terkadang seseorang menginap di rumah orang yang suka
bertahajud (shalat malam), lalu ia pun
ikut melaksanakan tahajud lebih lama.
Padahal biasanya ia hanya melakukan
shalat malam sebentar saja. Pada saat
itu, ia menyesuaikan dirinya dengan mereka. Ia pun ikut berpuasa ketika
mereka berpuasa. Jika bukan karena
bersama orang yang ahli ibadah tadi,
tentu ia tidak rajin beribadah seperti
ini” 2. Menyembunyikan dosa . Kewajiban bagi setiap muslim apabila berbuat
dosa adalah menyembunyikan dan
tidak menampakkan dosa tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang
menampakkan perbuatan dosanya. Di
antara bentuk menampakkan dosa
adalah seseorang di malam hari
melakukan maksiat, namun di pagi
harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan
maksiat ini dan itu. ” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia
lakukan, namun di pagi harinya ia
sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup. ”[9] 3. Memakai pakaian yang bagus . Hal ini tidak termasuk riya ’ karena termasuk keindahan yang disukai
oleh Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya
terdapat sifat sombong walau sebesar
dzarrah (semut kecil). ” Lantas ada seseorang yang
berkata, “Sesungguhnya ada orang yang suka berpenampilan indah
(bagus) ketika berpakaian atau ketika
menggunakan alas kaki. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan.
Yang dimaksud sombong adalah
menolak kebenaran dan meremehkan
manusia” [10] 4. Menampakkan syiar Islam . Sebagian syariat Islam tidak mungkin dilakukan
secara sembunyi-sembunyi, seperti
haji, umroh, shalat jama’ah dan shalat jum’at. Seorang hamba tidak berarti riya’ ketika menampakkan ibadah tersebut, karena di antara keawajiban
yang ada harus ditampakkan dan
diketahui manusia yang lain. Karena
hal tersebut merupakan bentuk
penampakan syiar-syiar islam.[11] Ikhlas Memang Berat Pembaca yang budiman, ikhlas adalah
satu amalan yang sangat berat. Fitnah
dunia membuat hati ini susah untuk
ikhlas. Cobalah kita renungkan setiap
amalan kita, sudahkah terbebas dari
maksud duniawi? sudahkah semuanya murni ikhlas karena Allah
Ta’ala? Jangan sampai ibadah yang kita lakukan siang dan malam menjadi
sia-sia tanpa pahala. Sungguh, ikhlas
memang berat. Urusan niat dalam hati
bakanlah hal yang mudah. Tidaklah
salah jika Sufyan ats Tsauri
rahimahullah mengatakan, “ Tidaklah aku berusaha untuk membenahi
sesuatu yang lebih berat daripada
meluruskan niatku, karena niat itu
senantiasa berbolak balik ”[12]. Hanya kepada Allah kita memohon taufik.
Wallahu a’lam. Penulis: Adika Mianoki Artikel www.muslim.or.id Catatan kaki : [1]. I’aanatul Mustafiid bi Syarhi Kitaabi at Tauhiid II/84. Syaikh Shalih Fauzan.
Penerbit Markaz Fajr [2]. Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid
183. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama
1428/2007 [3]. Lihat Al Mufiid 183 [4]. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam
al Musnad (V/428, 429) dan ath
Thabrani dalam al Kabiir (4301) dan
dishahihkan oleh Syaikh al Albani
dalam as Shahiihah (951) dan
Shahiihul Jami’ (1551) [5]. I’aanatul Mustafiid I/90 [6], H.R Ahmad dalam musnadnya.
Dihasankan oleh Syaikh Albani
Shahiihul Jami’ (2604) [7]. I’aanatul Mustafiid II/90 [8]. HR. Ahmad (4/403). Dishahihkan
oleh Syaikh al Albani dalam Shahiihul
Jami’ (3731) dan Shahih at Targhiib wa at Tarhiib (36). [9]. HR. Bukhari (6069) dan Muslim
(2990) [10]. HR.Muslim (91) [11]. Lihat pembahsan ini dalam
Bahjatun Nadzirin Syarh Riyadhis
Shalihin, III/140-142, Syaikh Salim al
Hilali, Daar Ibnul Jauzi [12]. Dinukil dari Jaami ’ul ‘Ulum wal Hikam 34, Imam Ibnu Rajab al
Hambali, Penerbit Daar Ibnul Jauzi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar