Kamis, 10 Maret 2011

AGAR HARI ESOK TAK MENYESAL

Suatu hari, Rasulullah saw
menggambar di tanah. Sederhana.
Hanya goresan garis-garis. Tapi
makna gambar itu yang luar biasa.
Dengan gambar itu sebuah aksioma
tentang perjalanan hidup menjadi sangat jelas. Mengundang renungan,
sekaligus menggugah kesadaran
siapa saja yang mau sadar Pertama
Rasulullah saw menggambar garis
lurus. Sesudah itu beliau menggambar
garis membentuk kotak, yang salah satu sisinya memotong garis
membentuk kotak tersebut. Sehingga,
setengah garis lurus itu ada yang di
dalam kotak, sisanya lagi di luar. Rasulullah saw menjelaskan, garis
lurus itu ibarat keinginan manusia,
harapannya, cita-citanya, juga
mungkin obsesi-obsesinya. Sedang
gambar kotak yang memotong garis
lurus tersebut adalah ajal manusia yang telah ditetapkan. Ya, manusia
memang berjalan di antara harapan
yang bisa mengular panjang dan ajal
yang mengintai siap menerkam.
Mengejar keinginan dan cita-cita
adalah perjalanan yang sangat melelahkan. Meninggalkan deretan
jejak-jejak yang sangat melelahkan.
Meninggalkan deretan jejak-jejak
kehidupan. Tujuan pendeknya adalah
hari esok di dunia. Sedang tujuan
panjangnya adalah hari esok di akhirat. Pada kedua tujuan pendek
dan panjang itu diperlukan bekal
yang tidak sedikit. Dan, siapapun,
yang ingin perjalanannya selamat
sampai tujuan, harus punya bekal
yang memadai, memiliki kehendak yang besar, kemauan yang teguh,
untuk mengejar cita-cita luhur yang
ingin dicapainya. Seperti dilukiskan dalam gambar
garis-garis Rasulullah di atas. Sedang
harapan-harapan bahagia di akhirat
bisa pupus bila kelak ternyata
seseorang itu dilemparkan ke dasar
neraka. Lantaran ia tak punya amal, atau amal-amalnya ditolak Allah SWT.
Sebuah kerugian yang tak ada
sesudahnya kerugian yang lebih
besar darinya. Perjalanan hidup
mengejar bahagia di dunia, dengan
segala suka atau dukanya, sedih dan gembiranya, sengsara maupun
bahagianya, tak jarang melenakan.
Manusia banyak yang lupa bahwa di
sela keinginannya yang panjang itu
terselip detik-detik kematiannya.
neraka. Lantaran ia tak punya amal, atau amal-amalnya ditolak Allah SWT. Sebuah kerugian yang tak ada
sesudahnya kerugian yang lebih
besar darinya. Perjalanan hidup
mengejar bahagia di dunia, dengan
segala suka atau dukanya, sedih dan
gembiranya, sengsara maupun bahagianya, tak jarang melenakan.
Manusia banyak yang lupa bahwa di
sela keinginannya yang panjang itu
terselip detik-detik kematiannya.
Seringkali manusia terpedaya, seakan
hari-harinya masih sangat panjang. Serasa segala kemauannya masih
punya rentang ruang yang tak
terbatas. Padahal akan ada ajal yang
memenggal segala mimpi-mimpi itu.
Karenanya, Rasulullah saw
mengistilahkan kematian dengan pemupus kenikmatan. “Perbanyaklah mengingat-ingat pemupus
kenikmatan, yaitu kematian. ” (HR. Tirmidzi). Namun, bagi orang-orang yang telah
mengumpulkan bekal, lalu dengan
ikhlas menyerahkan bekal itu kepada
Allah, kelak ia tidak akan terguncang,
bila kematian datang memutus nafas-
nafasnya. Ia tidak akan tercengang, bila ajal tiba memenggal segala
harapan-harapannya. Yang telah
menanam dengna baik tak akan
takut, bila kelak tiba saatnya orang
hanya bisa memakan hasil
tanamannya sendiri. Yang telah beramal dengan tulus tak akan
khawatir, bila tiba saatnya orang
hanya bisa selamat karena amalnya
sendiri. Dalam Islam, proses mencari
bekal itu dibangun di atas dua prinsip
utama yang sangat mendasar : Pertama, membekali diri untuk hari
esok – dunia maupun akhirat – merupakan kerangka utama dari
keseluruhan ajaran Islam. Dengan kata lain, seluruh aturan
Islam, perintah-perintahnya,
larangan-larangannya, terbingkai
dalam satu kepentingan utama : agar
manusia bertakwa. Sementara, Al-
Qur’an menegaskan, bahwa sebaik- baik bekal adalah takwa. Maka,
menjalankan ajaran Islam artinya
mengambil bekal sebaik-baiknya.
Berpuasa misalnya, juga punya tujuan
akhir untuk bertakwa. Allah
berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa. ” (QS. Al-Baqarah[2] : 183). Selain itu, Allah juga
menjelaskan bahwa tujuan
penciptaan manusia adalah untuk
menyembah dan beribadah kepada
Allah. ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. ” (QS. Adz-Dzariyaat [51] : 56) Sementara tujuan dari penyembahan
dan ibadah tersebut juga agar
manusia bertakwa. Allah swt
berfirman : “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu,
agar kamu bertakwa ” (QS. Al-Baqarah [2] : 21) Maka, inti ajaran Islam adalah
“berbekal ”. Dan sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dalam tataran
kehidupan duniawi, ajaran Islam juga
sangat padat dengan spirit
pembekalan diri dalam makna ibadah
dan taqwa tersebut. Menikah,
misalnya, disebut sebagai penyempurna setengah agama.
Mencari nafkah misalnya, tidak saja
sekedar untuk menyambung nyawa,
tetapi lebih dari itu, ia juga merupakan
penghapus dosa. Bahkan Rasulullah
saw menegaskan, ada dosa-dosa yang tidak bisa dihapus kecuali
dengan berlelah-lelah mencari nafkah. Rasulullah saw bahkan menyuruh kita
untuk terus berkarya, berusaha, dan
mengejar harapan-harapan yang
bermanfaat. Tetapi pada saat yang
sama juga harus menyandarkan
usaha itu kepada Allah. Agar dengan begitu seluruh proses pencarian
manfaat hidup itu bermakna
pembekalan diri. ”Kejarlah apa-apa yang bermanfaat untuk dirimu.
Mintalah pertolongan kepada Allah.
Janganlah kamu merasa lemah.., ” begitu pesan Rasulullah dalam hadits
riwayat Muslim. Seluruh nilai Islam
mengajarkan kepada kita untuk
berbekal. Karena hidup ini tempat
menanam dan mencari bekal. Prinsip kedua, bahwa berbekal artinya
kita menyiapkan diri untuk
menghadapi segala sesuatu yang
tidak pasti, hari ini, lusa, terlebih masa
yang akan datang. Yang tak biasa
bersusah-susah tidak akan bisa tegar menghadapi kesusahan. Yang lahir
dan tumbuh di atas hamparan
kemewahan, mungkin akan menjadi
yang pertama tenggelam ketika badai
kesulitan mengguncang. Sementara
yang lahir dan tumbuh di tengah ujian tak akan goyah oleh sedikit kesulitan.
Yang lahir dan tumbuh di tengah
angin topan, tak akan masuk angin
oleh semilir angin yang ogah-ogahan.
Manusia, umumnya, bergantung
bagaimana kebiasannya. Berbekal merupakan keharusan, karena
perjalanan hidup itu tidak datar.
Tantangan demi tantangan akan
semakin berat. Dalam hitungan zaman, Rasulullah
saw menggambarkan, ”Tidaklah datang sebuah zaman kepada kalian,
kecuali zaman yang sesudahnya lebih
buruk dari sebelumnya, hingga kalian
semua menghadap kepada Tuhan
kalian ”. (HR. Bukhari). Sementara, manusia tidak ada yang tahu apa
yang akan terjadi esok hari, apa yang
diusahakannya esok hari, tidak tahu
juga di mana ia akan dipanggil oleh
Allah. ” Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan
tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang
menurunkan hujan, dan mengetahui
apa yang ada dalam rahim. dan tiada
seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada
seorangpun yang dapat mengetahui
di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.
Lukman [31] : 34) Karenanya, dalam
nasehatnya kepada Abu Dzar,
Rasulullah saw berkata, ”Wahai Abu Dzar, perkokohlah bahteramu, karena
samudera itu dalam. Perbanyaklah
belakmu karena perjalananmu itu
panjang. Ikhlaskanlah amalmu,
karena pengintaimu itu sangat jeli. ” Rasulullah saw juga menganjurkan kepada ummatnya untuk
membiasakan diri bersusah-susah,
agar kelak tidak kaget untuk
menghadapi kesulitan yang bisa
datang sewaktu-waktu. ”Berkeras- keraslah karena nikmat dan karunia
itu tidak kekal, ” begitu pesan Rasulullah. Seluruh usaha membekali
diri, dengan niat yang ikhlas dengan
jerih payah yang baik tak lain
merupakan modal utama manusia,
untuk menghadap Allah kelak. Hari
ini, kala kita masih bertemu matahari pagi, saat kita masih bebas menarik
nafas, adalah saat-saat termahal untuk
kita mengais bekal, untuk menabung
dengna tekun bekal menyongsong
hari esok yang masih kelam. Saatnya
membuang rasa malas dan kebiasaan menunda-nunda amal. Saatnya kita
berbuat. Saatnya kita berbekal. Agar
esok tak sampai menyesal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar