Dalam aqidah ahlusunnah wal jamaah diyakini bahwa Rasulullah adalah manusia yang sempurna secara lahiriyah maupun batiniyah. Beliau bukan sembarang manusia biasa. Tidak boleh mengatakan bahwa Nabi hanya seorang manusia biasa seperti manusia lain. Wajib dalam aqidah ahlusunnah wal jamaah meng-itikad- kan dan mengucapkan bahwa Nabi adalah manusia yang sempurna yang berbeda jauh dengan manusia biasa. Betapa tidak! Selain Beliau diutus oleh Allah subhanahu wa ta ’ala ke dunia ini sebagai seorang Rasul, beliau juga diutus untuk memberikan dan mengajarkan agama kepada seluruh manusia dan jin yang tinggal di dunia ini. Lebih dari pada itu, Nabi juga diutus ke dunia ini sekaligus sebagai pembawa rahmat untuk seluruh alam semesta. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Dan tidaklah kami utuskan engkau (wahai Rasulullah), kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.” (Al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 107 ). Para sahabat radhiyallahu ‘anhum sangat mengetahui dan meyakini akan kemuliaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, terlebih setelah di dalam Al-Qur ’an ada disebutkan oleh Allah bahwasanya Allah tidak akan mengadzab kaum muslimin selagi Rasulullah ada bersama dengan mereka sebagaimana termaktub dalam al- Qur’an surat al-Anfal ayat 33: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. ” Mungkin diantara kita ada yang beranggapan bahwa yang dimaksud ‘Rasul bersama mereka ’, yaitu kaum muslimin, hanya berlaku pada saat Nabi masih hidup saja, dan ketetapan itu akan berubah seiring dengan wafatnya Nabi yang mulia. Anggapan ini adalah sebuah anggapan yang keliru! Kata-kata “wa anta fihim”, ‘selagi engkau (yakni Nabi Muhammad) masih bersama mereka ’, adalah memiliki makna yaitu ketika Nabi masih hidup maupun ketika Nabi sudah wafat. Tegasnya, di mana ada jasad Rasulullah yang mulia bersama- sama dengan orang-orang mukmin, maka dengan kekeramatan dan keberkatan jasad Nabi itu, kaum muslimin yang bersama dengan jasad Rasul tersebut akan terselamat dari adzab Allah juga. Dalam hal ini, Madinah al-Munawarah adalah negeri yang beruntung. Dan, kaum muslimin yang tinggal disana ikut menjadi orang yang sangat beruntung pula, sebab mereka akan terbebas sepanjang dunia terbentang, dari adzab Allah dengan berkat jasad Rasul yang mulia ada di bumi Madinah
itu. Kalau tidak begitu adanya, tidak akan kaum kuffar, musuh Islam, sampai bersusah payah mengutuskan dua orang musuh Allah untuk menggali dan mencuri jasad Nabi kita yang tercinta itu, beberapa ratus tahun yang lalu….! Apalagi Nabi sudah menegaskan dalam hadis-hadis shahih bahwa Dajjal laknatullah ‘alaih saja tidak diizinkan dan tidak akan mampu memasuki kota Madinah serta membuat kerusakan di dalamnya. Kenapa bisa demikian? Tidak lain adalah karena adanya kemuliaan pada jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ada di sana. Bukti lain terhadap kemuliaan jasad Nabi di kota itu adalah sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i bahwa guru beliau tabi’in besar Imam Maliki, tidak pernah berani memijak bumi bersama dengan kuku kudanya, hanya karena sangat menghormati keberadaan jasad Nabi tercinta di bumi Madinah itu. Subhanallah….. Walhamdulillah….! Kisah Perang Hunain Abu Hamzah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan satu kisah berbunyi : Suatu hari pada saat peperangan Hunain, di mana ketika itu kaum muslimin berperang melawan Kabilah Hawazin, Ghatafan, dan sekutunya, yang datang dengan membawa ternak dan keluarga mereka yang banyak. Kabilah Hawazin ini, adalah kelompok Arab Badui yang sangat keras melawan Rasulullah dan kaum muslimin. Bahkan sampai saat ketika Mekkah telah dikuasai oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Badui Hawazin ini tetap keras kepala berperang melawan Rasul dan pasukan kaum muslimin. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang memerangi kaum Hawazin ini dengan 10 ribu tentara yang terdiri dari orang-orang thulaqa’ (yakni orang-orang yang baru masuk Islam dan dibebaskan dari tawanan perang oleh Rasul pada saat Fathul Makkah), yakni ketika Mekkah diduduki oleh kaum muslimin. Pada peperangan yang dahsyat itu, Badui Hawazin memberikan perlawanan yang sangat sengit. Ratusan anak panah telah mereka lepaskan ke arah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga seperti belalang banyaknya anak panah yang menerpa tubuh Rasulullah yang mulia. Saat itu, Rasul sedang menaiki seekor baghal berwarna putih sebagai kendaraan Beliau. Alhamdulillah, dengan kemukjizatan dari Allah, ratusan anak panah yang menerjang tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semuanya meleset ke kanan dan ke kiri tubuh Baginda yang mulia, sehingga tidak ada sebatang anak panah pun yang mampu melukai tubuh Rasulullah. Pada saat itu kaum thulaqa’ yang berjumlah 10 ribu orang lari lintang pukang, porak poranda, serta meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta beberapa orang Sahabat yang mulia yang masih tetap bertahan dari terjangan panah Badui Hawazin itu. Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu memanggil dua kali ke arah kanan dan arah ke kiri. Nabi saat itu berseru, “Wahai sekalian kaum Anshar …….!” Seruan itu dijawab oleh kaum Anshar dengan gairah, “Labbaik, ya Rasulallah…..! Bergembiralah, sesungguhnya kami tetap bersama engkau, wahai Rasul….!” Rasul menyeru sekali lagi ke arah kiri, “Wahai sekalian kaum Anshar …….!” Kaum Anshar yang saat itu ada di posisi kiri Nabi menjawab dengan gairah, “Labbaik, ya Rasulallah……! Bergembiralah sesungguhnya kami tetap bersama engkau, wahai Rasul…..!” Kaum Anshar tetap setia berperang bersama Rasul, dan ridak ada satupun dari mereka yang melarikan diri. Kemudian Rasulullah turun dari baghal putih tunggangannya seraya bersabda, “Aku adalah hamba dan pesuruh Allah. ” Dengan izin Allah, akhirnya orang- orang musyrik Badui Hawazin, berhasil dikalahkan dan mujahid muslimin memperoleh harta rampasan perang yang banyak sekali. Tak lama kemudian Rasulullah membagi- bagikan harta rampasan perang tersebut kepada orang-orang Muhajirin dan kaum thulaqa’, yaitu orang Mekkah yang baru masuk Islam, sehingga seluruh harta rampasan perang itu habis terbagi semua itu. Tinggallah kaum Anshar yang merupakan penduduk Madinah, yang tidak menerima sedikit pun pembagian dari harta rampasan perang itu. Melihat hal ini, sabahagian para sahabat dari golongan Anshar, mulai saling berbisik sesama mereka satu dengan yang lainnya. Kata mereka, “Apabila terjadi keadaan sulit dan genting kita dipanggil oleh Rasulullah, akan tetapi apabila kemenangan telah diperoleh, Beliau membagi-bagikan harta rampasan perang itu kepada kaum kerabatnya dan bukan kepada kita. ” Sikap bersungut-sungut, saling bisik, dan ketidaksenangan sebagian Sahabat dari golongan Anshar ini akhirnya sampai juga ke telinga Rasul. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan mereka dalam sebuah kemah besar, seraya bersabda, “Wahai para Sahabatku kaum Anshar. Berita apakah yang telah sampai kepada ku ini?” Saat itu tidak ada seorang pun dari kaum Anshar yang menjawab pertanyaan Nabi. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, “Wahai kaum Anshar, apakah kalian tidak ridha apabila melihat orang-orang banyak, pulang ke rumah mereka dengan membawa harta dunia yang berlimpah, sementara kalian semua pulang ke Madinah dengan membawa utusan Allah bersama-sama dengan kamu di rumah-rumah kalian ?” Saat itu kaum Anshar menjawab, “Sudah tentu kami ridha, ya Rasulallah.” Selanjutnya Rasulullah bersabda, “Sekiranya manusia melalui satu lembah, dan orang-orang Anshar melalui satu jalan
yang lain dari dua bukit itu, niscaya aku Rasulullah akan mengikuti jalan yang telah dilalui orang-orang Anshar ….!” Hisyam radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah engkau menyaksikan semua itu wahai Abu Hamzah?” Abu Hamzah menjawab, “Kemanakah aku akan pergi meninggalkan Baginda Nabi?” (H.R. Bukhari, lihat kitab al al- Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, Jilid 4 halaman 357). Di dalam riwayat lain, Imam Ahmad menambahkan pada kisah diatas melalui jalur Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, antara lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah diri kamu merasa marah wahai Sahabat-sahabatku kaum Anshar, hanya karena harta dunia yang akan musnah itu, yang mana telah aku bagi-bagikan untuk melembutkan hati mereka orang- orang yang baru masuk Islam itu? Sementara kepada kamu aku serahkan Islam yang telah dibagikan Allah kepadaku? Apakah kamu tidak ridha……? Wahai Sahabat Anshar, sekiranya manusia semuanya pulang ke rumah masing-masing dengan membawa kambing, unta, dan harta benda dunia, sedangkan kamu pulang ke rumah dengan membawa Rasul Allah, tidakkah kamu merasa ridha…? Demi Allah yang menguasai jiwaku, sekiranya manusia mengikuti satu jalan diantara dua gunung, dan orang Anshar melalui jalan lain, pasti aku akan mengikuti jalan yang telah dilalui oleh orang-orang Anshar itu. Jika bukan karena hijrah, pastilah aku menjadi salah seorang dari kalangan kaum Anshar. Ya Allah, rahmatilah para Sahabat Anshar, anak-anak orang Anshor, cucu-cucu orang Anshor dan cucu-cicit orang Anshar. ” Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya, “Maka orang- orang Anshar menangis tersedu-sedu sampai air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka. ” Kemudian kaum Anshar berkata: “Kami telah ridha Allah sebagai Tuhan kami, dan kami telah ridha dengan pembagian Rasul-Nya.” Mereka pun menangis dan Rasulullah pun menangis bersama- sama mereka. Kemudian mereka pun berbalik dan kembali ke kemah mereka masing-masing.” (H.R. Imam Ahmad, dari Abu Ishaq. Lihat dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid 4 halaman 358). Dari keterangan ini dapat kita lihat betapa para Sahabat lebih menghargai
adanya Rasulullah beserta jasad Rasulullah yang mulia bersama mereka, daripada memilih harta dunia yang berlimpah. Harta dunia terlepas dari tangan mereka, namun bagi mereka diri Rasulullah jauh lebih utama dari semua itu. Nah, di akhir zaman ini, dimana sudah muncul sekelompok kecil umat Islam yang sudah berani mengatakan bahwa tongkat kepunyaannya lebih bermanfaat dari Rasulullah setelah wafat…..! Padahal Sahabat Nabi dan para tabi’in begitu menghargai keberadaan Rasulullah, baik di saat Beliau masih hidup maupun setelah Beliau wafat dan bersemayam di bumi Madinah yang mulia. Tidakkah kita semua menyadari kemuliaan Rasulullah dan kemuliaan jasad Rasul itu….? Wahai Allah yang membolak-balikkan hati, balikkanlah hati kami kepada kefahaman agama yang benar, sehingga kami dapat menghargai Rasulullah dan jasad Beliau yang mulia hingga dunia kiamat nanti. Amin ……! Wallahu a’lam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar