Jumat, 13 Mei 2011

Kisah Sahabat Nabi: Abbas bin Abdul Muthalib, Paman Terkasih Rasulullah

, Ia
adalah paman
Rasulullah SAW dan
salah seorang yang
paling akrab di hatinya dan yang paling dicintainya.
Oleh sebab itu, beliau senantiasa
berkata, "Abbas adalah saudara
kandung ayahku. Barangsiapa yang
menyakiti Abbas sama dengan
menyakitiku." Pada zaman Jahiliyah, ia mengurus
kemakmuran Masjidil Haram dan
melayani minuman para jamaah haji.
Seperti halnya ia akrab di hati
Rasulullah, Rasulullah pun dekat
sekali di hatinya. Ia pernah menjadi pembantu dan penasihat utamanya
dalam Baiat Aqabah menghadapi
kaum Anshar dari Madinah. Abbas adalah saudara bungsu ayah
Nabi SAW, Abdullah bin Abdul
Muthalib. Menurut sejarah, ia
dilahirkan tiga tahun sebelum
kedatangan Pasukan Gajah yang
hendak menghancurkan Baitullah di Makkah. Ibunya, Natilah binti
Khabbab bin Kulaib, adalah seorang
wanita Arab pertama yang
mengenakan kelambu sutra pada
Baitullah. Pada waktu Abbas masih anak-anak,
ia pernah hilang. Sang ibu lalu
bernazar, kalau putranya itu
ditemukan, ia akan mengenakan
kelambu sutra pada Baitullah. Tak
lama kemudian, Abbas ditemukan, maka ia pun menepati nazarnya itu. Abbas kemudian menikah dengan
Lubabah binti Harits, juga dikenal
dengan sebutan Ummu Fadhl, yang
dalam sejarah Islam menjadi wanita
kedua yang masuk Islam. Lubabah
masuk Islam pada hari yang sama dengan sahabatnya, Khadijah binti
Khuwailid, yang tidak lain adalah istri
Muhammad SAW. Abbas dan
Lubabah adalah orang tua dari Al-
Fadhl, Abdullah, Ubaidillah dan Qasim
bin Abbas. Pada tahun-tahun awal perjuangan
Nabi SAW menyampaikan dakwah
Islam, Abbas selalu melindungi
Rasulullah dari orang-orang Quraisy
yang hendak mencelakakan beliau.
Walaupun pada saat itu, ia sendiri belum masuk Islam. Para ahli sejarah berbeda pendapat
tentang Islamnya Abbas. Ada yang
mengatakan, sesudah penaklukkan
Khaibar. Ada yang mengatakan,
lama sebelum Perang Badar. Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke
Yatsrib, Abbas tetap tinggal di
Makkah, mendengarkan berita
Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan
mengirimkan berita-berita kaum
Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar. Abbas, biasa juga dipanggil Abu
Fadhl, pergi berhijrah ke Madinah
bersama Naufal ibnul Harits. Ahli
sejarah berbeda pendapat tentang
tanggal hijrahnya, namun mereka
sependapat bahwa Rasulullah telah memberikan sebidang tanah
kepadanya, berdekatan dengan
tempat kediamannya. Suatu hari, Abbas datang
menghadap Rasulullah dan
memohon dengan penuh harap, "Ya
Rasulullah, apakah engkau tidak
suka mengangkat aku menjadi
pejabat pemerintahan?" Berdasarkan pengalaman, ia
seorang yang berpikiran cerdik,
berpengetahuan luas, dan
mengetahui liku-liku jiwa orang.
Namun Nabi SAW tidak ingin
mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan. Beliau tidak
ingin pamannya dibebani tugas-
tugas pemerintahan. "Wahai paman
Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa
lebih baik daripada menghitung-
hitung jabatan pemerintahan," kata Rasulullah. Ternyata Abbas menerima dengan
senang hati pendapat Rasulullah,
tetapi malah Ali bin Abi Thalib yang
kurang puas. Ia lalu berkata kepada
Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi
pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut
sedekah!" Sekali lagi Abbas menghadap
Rasulullah untuk meminta seperti
yang dianjurkan Ali itu. Rasulullah
kemudian bersabda kepadanya,
"Wahai pamanku, tak mungkin aku
mengangkatmu mengurusi cucian (kotoran) dosa orang." Rasulullah adalah orang yang paling
akrab dan paling kasih kepadanya,
tidak mau mengangkatnya menjadi
pejabat pemerintahan atau pengurus
sedekah. Bahkan ia tidak diberi
kesempatan dan harapan untuk mengurusi soal-soal yang bersifat
duniawi, tetapi menekannya supaya
lebih menekuni soal-soal ukhrawi. Ketika Rasulullah SAW wafat, Abbas
adalah orang yang paling merasa
kesepian atas kepergiannya itu.
Abbas hidup terhormat di bawah
pemerintahan Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq maupun pada masa kepemimpinan Umar bin Khathab. Pada suatu hari dalam pemerintahan
Khalifah Umar, terjadi paceklik hebat
dan kemarau ganas. Orang-orang
berdatangan kepada Khalifah untuk
mengadukan kesulitan dan
kelaparan yang melanda daerahnya masing-masing. Umar menganjurkan kepada
Muslimin yang berkemampuan
supaya mengulurkan tangan
membantu saudara-saudaranya
yang ditimpa kekurangan dan
kelaparan. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya
mengirimkan kelebihan daerahnya
ke pusat. Ka'ab menemui Khalifah Umar seraya
berkata, "Wahai Amirul Mukminin,
biasanya Bani Israel kalau
menghadapi bencana semacam ini,
mereka meminta hujan dengan
kelompok para nabi mereka." Umar berkata, "Ini dia paman
Rasulullah dan saudara kandung
ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan Bani
Hasyim." Khalifah Umar pergi kepada Abbas
dan menceritakan kesulitan besar
yang dialami umat akibat kemarau
panjang dan paceklik itu. Kemudian
ia naik mimbar bersama Abbas
seraya berdoa, "Ya Allah, kami menghadapkan diri kepada-Mu
bersama dengan paman Nabi kami
dan saudara kandung ayahnya,
maka turunkanlah hujan-Mu dan
janganlah kami sampai putus asa!" Abbas lalu meneruskan, memulai
doanya dengan puja dan puji
kepada Allah SWT, "Ya Allah, Engkau
yang mempunyai awan dan Engkau
pula yang mempunyai air.
Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami.
Hidupkanlah semua tumbuh-
tumbuhan dan suburkanlah semua
air susu. Ya Allah, Engkau tidak
mungkin menurunkan bencana
kecuali karena dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana
kecuali karena tobat. Kini umat ini
sudah menghadapkan dirinya
kepada-Mu maka turunkanlah hujan
kepada kami..." Ternyata doanya itu langsung
diterima dan diijabah Allah SWT.
Hujan lebat turun dan tumbuh-
tumbuhan tumbuh dengan
suburnya. Orang-orang bersyukur
kepada Allah dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat
kepadamu, wahai Saqil Haramain,
yang mengurusi minuman orang di
Makkah dan Madinah." Abbas bin Abdul Muththalib, paman
Rasululah SAW dan saudara
kandung ayahnya, termasuk salah
seorang tokoh sahabat yang ikut
mengibarkan panji Islam. Sepak
terjangnya dicatat sejarah dengan tinta emas dalam Baiat Aqabah
Kubra. Ia bertindak sebagai seorang
penasihat dan juru runding,
menyertai keponakannya dalam
majelis itu. Abbas ra wafat pada hari Jumat, 12
Rajab 32 H, dalam usia 82 tahun. Ia
dikebumikan di Baqi', Madinah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar