Nama aslinya Ahmad
bin Al-Mustakfi, Abul
Abbas. Ketika
ayahnya, Al-Mustakfi wafat di Qush, dia dinyatakan
sebagai putra mahkota. Namun
Sultan Malik An-Nashir lebih
mengutamakan anak pamannya
yang bernama Ibrahim, karena dia
sendiri pernah terlibat konflik dengan Al-Mustakfi. Padahal perilaku Ibrahim amat
buruk. Hakim Agung Izzuddin telah
berusaha sekuat tenaga untuk
memalingkan sultan dari Ibrahim.
Namun sang sultan tak mau peduli
dengan semua usahanya. Menjelang kematiannya, Sultan Malik menyuruh
para pejabatnya untuk
mengembalikan hak kekhilafahan
kepada Ahmad, putra Al-Mustakfi. Tatkala Al-Manshur Abu Bakar bin
An-Nashir menjadi sultan, dia
mengadakan rapat dengan seluruh
pembesar negara. Saat itu dia
menghadirkan Ibrahim, Ahmad dan
Hakim Agung. Dia bertanya kepada semua yang hadir, "Siapakah yang
berhak menjadi khalifah secara
sah?" Ibnu Jamaah berkata, "Sungguh
Khalifah Al-Mustakfi yang meninggal
dunia di Qush telah mewasiatkan
kepada anaknya, Ahmad, agar
diangkat sebagai khalifah. Apa yang
saya katakan ini disaksikan 40 orang yang berasal dari Qush. Saya
menganggap apa yang dikatakan
mereka itu benar setelah saya
mengecek pada seorang wakil saya
yang berada di Qush." Saat itu juga Sultan Al-Manshur
mencopot Ibrahim dari kursi khalifah
dan membaiat Ahmad. Setelah sultan
membaiat, kemudian para hakim ikut
membaiat. Ahmad kemudian diberi
gelar Al-Hakim Biamrillah (1343-1354 M), gelar yang pernah
disandang kakeknya. Ibnu Fadhl dalam kitabnya, Al-
Masalik, mengatakan, Al-Hakim
adalah imam dan pemimpin di masa
kami. Dia orang terdepan di kota
kami. Dia mampu meredam dendam,
dan tenggelam dalam luapan keindahan. Semua perkara kembali
pada jalurnya. Dia bangkitkan
simbol-simbol khilafah dan tidak ada
lagi orang yang mampu
menentangnya. Dia menempuh jalan
para pendahulunya yang baik dan selama ini terkubur. Dia mampu
mengembalikan kesatuan Bani
Abbasiyah yang selama ini tercabik-
cabik. Ibnu Fadhl melanjutkan, semua
orang yang hadir dalam pembaiatan
itu sepakat pada satu kata setelah
meminta petunjuk Allah dan
diambillah sumpahnya. Khalifah Al-
Hakim Biamrillah II kini terikat janji. Lalu dia tawarkan amanah itu
kepada setiap kelompok hingga
semua yang ada di tempat itu
mendapatkan bagian amanah
tersebut. Sedangkan Ibnu Hajar dalam Ad-
Durr Al-Mastur mengatakan, awalnya
dia bergelar Al-Mustanshir kemudian
dia bergelar Al-Hakim. Beberapa
peristiwa penting yang terjadi di
zamannya adalah pencopotan Sultan Al-Manshur karena kerusakan moral
dan akhlaknya, serta kebiasaannya
yang meminum khamr. Bahkan
disebutkan, Al-Manshur bersetubuh
dengan istri-istri ayahnya. "Dia diasingkan ke Qush dan
dibunuh di tempat itu. Ini
merupakan balasan atas apa yang
pernah dilakukan ayahnya, Sultan
Malik, terhadap khalifah.
Demikianlah, Allah selalu memperlakukan orang-orang yang
zalim, terutama kezaliman yang
dilakukan terhadap Bani Abbas,"
tulis Ibnu Hajar. Setelah itu, saudaranya yang
bernama Al-Malik Al-Asyraf Kajik
menggantikan Sultan Al-Manshur,
namun tak sampai setahun dia pun
dicopot dan setelah itu digantikan
lagi oleh saudaranya, Ahmad, dengan gelar An-Nashir. Antara
khalifah dan dirinya dilakukan saling
baiat yang disaksikan oleh Syekh
Taqiyuddin As-Subki, salah seorang
hakim di Syam. Pada 743 H, Ahmad An-Nashir juga
dicopot dan digantikan oleh
saudaranya yang bernama Ismail
dan bergelar Ash-Shalih. Pada 746 H,
Ash-Shalih meninggal dunia.
Kemudian khalifah mengangkat saudaranya yang bernama Sya'ban
sebagai penggantinya. Sya'ban
bergelar Al-Kamil. Pada 747 H, Al-Kamil terbunuh lalu
digantikan saudaranya, Amir Haj
dengan gelar Al-Muzhaffar. Setahun
kemudian Al-Muzhaffar dicopot dan
digantikan saudaranya Hasan
dengan gelar An-Nashir. Pada 750 H, Hasan An-Nashir dicopot
dari kursi kesultanan yang
kemudian diganti oleh saudaranya
yang bernama Shalih dan memakai
gelar Al-Malik Al-Shalih. Dia orang
kedelapan dari keturunan An-Nashir bin Muhammad bin Qalawun yang
menjadi sultan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar