REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Usamah
bin Ladin adalah sosok yang
kontroversial di mata dunia. Bagi
sebagian ia adalah teroris tulen yang
seakan berhati dingin dan kejam.
Tapi bagi sebagian lain, Usamah adalah simbol perlawanan atas
hegemoni Amerika Serikat dan Eropa
atas kesewenang-wenangan
mereka terhadap dunia Islam. Tak lupa, Usamah juga pernah
bekerja sama dengan AS di
Afghanistan untuk mengusir Sovyet.
Kini setelah dikabarkan tewas dalam
penyergapan di Abbottabad,
Pakistan, Usamah tetap menjadi sosok yang misterius. Republika
mencoba menguliti sedikit
kehidupan pribadi Usamah bin Ladin,
keturunan konglomerat Mohammed
bin Ladin asal Arab Saudi. Bagaimana masa kecilnya. Apa yang
mempengaruhi pergerakan Usamah.
Mengambil bahan dari buku
pemenang hadiah Pullitzer 2007, The
Looming Tower karangan Lawrence
Right, berikut cuplikan episode- episode kehidupan Usamah bin
Ladin. Selamat menikmati: Lulus sekolah menengah, Usamah
kuliah di Universitas King Abdul Aziz
pada 1976. Dia mengambil jurusan
ekonomi. Tapi lebih sering terlihat
mengikuti acara-acara kampus yang
berbau keagamaan. "Saya mendirikan lembaga amal di
kampus. Kami menghabiskan
banyak waktu mengkaji Alquran
dan jihad," katanya. Di kampus inilah ia berkenalan
dengan Mohammed Jamal Khalifa
yang kemudian menjadi sahabat
dekatnya. "Usamah itu anak yang
keras kepala," kata Khalifa. "Pernah
kami berkuda di gurun, di depan kami ada badai pasir. Saya
memperingatkan Usamah agar kita
lebih baik kembali saja, tapi dia jalan
terus. Kudanya terjatuh, tapi ia
tertawa. Dia menyukai tantangan,"
kata Khalifa. Ia menjelaskan, saat itu mereka
asyik-asyiknya mengkaji Islam
dalam kehidupan sehari-hari. Islam
bagi mereka bukan sekedar agama,
tapi jalan hidup. "Kami berupaya
mengerti apa yang Islam tegaskan bagi hidup sehari-hari. Bagaimana
kami makan, minum, menikah,
berbicara. Kami banyak membaca
karangan Sayyid Qutb yang sangat
terkenal,". Ditambah dengan para pengajar di
universitas yang ternyata banyak
pengikut Ikhwanul Muslimin. Khalifa
dan Usamah makin asyik dalam
perdebatan Islam dan politik.
Bagaimana menggabungkan keduanya tanpa ada persinggungan. Saat di bangku kuliah inilah, Usamah
menjadi ayah. Anaknya, Abdullah
lahir dan berturut-turut adiknya
hingga total berjumlah 11 anak.
Usamah adalah ayah yang baik. Ia
bermain dengan anak-anaknya. Membawa mereka ke peternakan
atau ke pantai. Tapi di saat yang
sama ia juga bersikap tegas pada
mereka. Ia ingin anak-anaknya
tumbuh menjadi anak yang tangguh.
Ia menolak memasukkan anak- anaknya ke sekolah, dan
mengundang guru ke rumah. Pada 1982, Usamah poligami. Istri
keduanya, Umm Hamza, berbeda.
Seorang perempuan berpendidikan
tinggi dengan gelar PhD di psikologi
dan mengajar di universitas. Usianya
tujuh tahun lebih tua dari Usamah. Dari pernikahan ini lahir seorang
putra. Dua keluarganya ia belikan
apartemen yang berdekatan. Beberapa tahun kemudian, Usamah
menikah lagi untuk ketiga kalinya.
Istrinya yang ketiga, Umm Khaled
juga sangat berpendidikan, seorang
doktor bidang bahasa Arab dan
mengajar di kampus lokal. Tak lama setelah itu, Usamah menikah lagi
untuk keempat kalinya dengan Umm
Ali. Usamah muda juga nyambi kerja di
perusahaan ayahnya, yang kali ini
mendapat proyek restorasi di Mina.
Ia pulang pergi Jeddah-Makkah
selama beberapa waktu. Berbeda
dengan pemuda Arab lainnya, Usamah muda ngotot untuk bekerja
kasar. Ia ingin selevel dengan
pekerja di lapangan yang datang
dari India atau Filipina. Dia bersama-
sama buruh kasar menghabiskan
waktu berjam-jam. Mengoperasikan buldoser dan alat berat lainnya. Keasyikan bekerja di kontraktor
membuat pelajaran Usamah di
universitas keteteran. Akhirnya ia
mengambil keputusan, berhenti
kuliah. Padahal ia tinggal setahun
lagi lulus. Usamah bekerja penuh waktu di bin Ladin grup. Seorang
temannya mengingat pemuda
Usamah sangat berbeda dengan saat
remajanya. "Dia sangat percaya diri
dan kharismatik," kata si teman. Desember 1979, dunia dikejutkan
dengan dua peristiwa. Pertama
adalah serangan berdarah ke Masjidil
Haram oleh Al Qahtani dan
pengikutnya yang memprotes gaya
hidup pemimpin Arab. Kedua adalah invasi Uni Sovyet ke Afghanistan.
Usamah bin Ladin tertarik pada yang
kedua. "Saya sangat marah melihat
Afghanistan diserbu. Saya langsung
ke sana saat itu juga," katanya.
Usamah tiba di Afghanistan
beberapa hari setelah negara itu
diduduki Sovyet. Teman Usamah, Jamal Khalifa, mengatakan Usamah
sebelumnya tak pernah mendengar
ada negara Afghanistan. Khalifa
mengatakan, Usamah tidak pergi ke
Afghanistan pada 1979, melainkan
pada 1984. Namun Usamah menjelaskan, kepergiannya ke
Afghanistan sangat rahasia hingga
keluarganya pun tidak ada yang
tahu. Usamah menjadi kurir bagi para
pejuang AFghanistan. Ia
mengumpulkan uang dari para
orang kaya Saudi untuk diberikan ke
para pejuang. Di sinilah Usamah
berkenalan dengan Abdullah Azzam, tokoh kharismatik asal Palestina.
Azzam juga berjuang di Afghanistan.
Tak butuh waktu lama bagi Usamah
muda untuk mengidolakan Azzam
yang mengajar di Pakistan pada
1981. Di Pakistan, Azzam bergaul bersama
pejuang Afghanistan yang kerap
mondar-mandir ke Peshawar. Ia
berkenalan dengan para pejuang
Mujahiddin. Azzam juga bolak-balik
Jeddah-Pakistan. Di Jeddah, ia kerap menginap di rumah Usamah.
Keduanya akhirnya sepakat
merekrut kaum muda Arab Saudi
untuk membantu membebaskan
Afghanistan. Keduanya
menggunakan foto-foto penderitaan rakyat Afghanistan untuk
mempengaruhi kaum muda agar
mau ikut gerakan mereka. "Kamu
harus melakukan ini. HARUS! Ini
adalah tugas kamu sebagai generasi
muda. Tinggalkan segalanya, mari kita berjuang di Afghanistan," begitu
kata mereka. Di musim panas, Usamah membuka
pelatihan militer bagi pelajar dan
mahasiswa yang ingin membantu
pejuang Afghanistan. Usamah juga
terus menjalankan fungsinya
sebagai pengumpul dana untuk Afghanistan. Pemerintah Arab Saudi
membantu langkah-langkah ini
dengan memberi diskon
penerbangan ke Pakistan. Suatu ketika, Usamah ingin terjun
langsung ke medan perang di
Afghanistan. Namun rencananya
ditentang pemerintah Saudi.
"Pemerintah Arab memintaku jangan
masuk ke Afghanistan karena dekatnya hubungan keluarga bin
Ladin dengan pemerintahan Arab.
Mereka ingin aku tetap di Peshawar.
Sebab kalau aku tertangkap
pasukan Rusia, ini menandakan
Saudi mendukung Afghanistan. Aku menentang peringatan Arab. Aku
tetap masuk dan berjuang di
Afghanistan." Kesibukan Usamah bolak balik Arab
Saudi akhirnya berdampak pada
kariernya di bin Ladin grup.
Pekerjaan rekonstruksi Masjid Nabi
di Madina terbengkalai. Usamah
akhirnya merelakan sebagian keuntungannya dalam proyek
tersebut, sebesar delapan juta riyal
atau 2,5 juta dolar AS. Sebaliknya,
sumbangan yang berhasil ia
kumpulkan untuk pejuang
Mujahiddin mencapai lima sampai 10 juta dolar AS. Dari sumbangan ini,
dua juta dolar AS adalah sumbangan
saudari Usamah. Pada 1984, saat Usamah dan Azzam
beribadah haji, Usamah akhirnya
membeberkan rencana massalnya
untuk membantu Afghanistan.
Usamah ingin ada keterlibatan
langsung Arab Saudi di Afghanistan, meski secara rahasia. Bagi setiap
remaja Arab yang bersedia ke
Afghanistan akan mendapat gaji 300
dolar AS per bulan untuk
keluarganya di Arab. Di balik ini,
pemerintah Saudi menyediakan dana 350-500 juta dolar AS per tahun
untuk pejuang Afghanistan.
Uangnya masuk ke rekening di bank
Swiss dan dikontrol oleh pemerintah
Amerika Serikat yang juga
mendukung pejuang mujahidin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar