Minggu, 27 Februari 2011

SEJARAH MAULID NABI

Peringatan Maulid Nabi pertama kali
dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Irak
sekarang), bernama Muzhaffaruddin
al-Kaukabri, pada awal abad ke 7
hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh
berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan
Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah
seorang pemberani, pahlawan, alim
dan seorang yang adil -semoga Allah
merahmatinya-”. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-
Jauzi bahwa dalam peringatan
tersebut raja al-Muzhaffar
mengundang seluruh rakyatnya dan
seluruh para ulama dari berbagai
disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para
ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga
hari sebelum hari pelaksanaan beliau
telah melakukan berbagai persiapan.
Ribuan kambing dan unta disembelih
untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi
tersebut. Segenap para ulama saat itu
membenarkan dan menyetujui apa
yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar
tersebut. Mereka semua
mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar
untuk pertama kalinya itu. Ibn
Khallikan dalam kitab Wafayat al-
A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari
Maroko menuju Syam untuk
selanjutnya menuju Irak, ketika
melintasi daerah Irbil pada tahun 604
H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar,
raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan
Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih
Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah
buku tentang Maulid Nabi yang diberi
judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an- Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar. Para ulama, semenjak masa raja al-
Muzhaffar dan masa sesudahnya
hingga sampai sekarang ini
menganggap bahwa perayaan maulid
Nabi adalah sesuatu yang baik.
Jajaran para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan
demikian. Di antara mereka seperti al-
Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh
al-'Iraqi (W 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar
al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-
Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as- Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar
al-Haitami (W 974 H), al-Imam an-
Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), mantan
mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit
al-Muthi'i (W 1354 H), Mantan Mufti
Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja
(W 1351 H) dan masih banyak lagi
para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi menulis
karya khusus tentang maulid yang
berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al- Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan
Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari
masa ke masa dan dalam setiap
generasi ke generasi. Hukum Peringatan Maulid Nabi Peringatan Maulid Nabi Muhammad
yang dirayakan dengan membaca
sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi
yang mulia, ini adalah perkara yang
penuh dengan berkah dan kebaikan
kebaikan yang agung. Tentu jika
perayaan tersebut terhindar dari
bid’ah-bid’ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi
mulai dilakukan pada permulaan abad
ke 7 H. Ini berarti kegiatan ini tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah,
para sahabat dan generasi Salaf.
Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau
sesuatu yang haram. Karena segala
sesuatu yang tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah atau tidak pernah
dilakukan oleh para sahabatnya
belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri. Para ulama
menggolongkan perayaan Maulid
Nabi sebagai bagian dari bid’ah hasanah. Artinya bahwa perayaan
Maulid Nabi ini merupakan perkara
baru yang sejalan dengan ajaran-
ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama sekali tidak
bertentangan dengan keduanya. Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi Peringatan Maulid Nabi masuk dalam
anjuran hadits nabi untuk membuat
sesuatu yang baru yang baik dan
tidak menyalahi syari ’at Islam. Rasulullah bersabda: ْﻦَﻣ َّﻦَﺳ ِﻲﻓ ِﻡَﻼـْﺳِﻹْﺍ ًﺔَّﻨُﺳ ًﺔَـﻨَﺴَﺣ ُﻪَﻠَﻓ ﺎَﻫُﺮْﺟَﺃ ُﺮْﺟَﺃَﻭ ْﻦَﻣ َﻞِﻤَﻋ ﺎَﻬِﺑ ُﻩَﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ ِﺮْﻴَﻏ ْﻥَﺃ َﺺُﻘْﻨَﻳ ْﻦِﻣ ْﻢِﻫِﺭْﻮُﺟُﺃ ٌﺀْﻰَﺷ ) ﻩﺍﻭﺭ ﻢﻠﺴﻣ ﻲﻓ
ﻪﺤﻴﺤﺻ ) “Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara
baik maka ia akan mendapatkan
pahala dari perbuatan baiknya
tersebut, dan ia juga mendapatkan
pahala dari orang yang mengikutinya
setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun ”. (HR. Muslim dalam kitab Shahihnya). Faedah Hadits: Hadits ini memberikan keleluasaan
kepada ulama ummat Nabi
Muhammad untuk merintis perkara-
perkara baru yang baik yang tidak
bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar maupun Ijma ’. Peringatan maulid Nabi adalah
perkara baru yang baik dan sama
sekali tidak menyalahi satu-pun di
antara dalil-dalil tersebut. Dengan
demikian berarti hukumnya boleh,
bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang
yang mengharamkan peringatan
Maulid Nabi, berarti telah
mempersempit keleluasaan yang telah
Allah berikan kepada hamba-Nya
untuk melakukan perbuatan- perbuatan baik yang belum pernah
ada pada masa Nabi. 2. Dalil-dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang telah disebutkan dalam
pembahasan mengenai Bid’ah. 3. Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan
Imam Muslim dalam kedua kitab
Shahih-nya. Diriwayatkan bahwa
ketika Rasulullah tiba di Madinah,
beliau mendapati orang-orang Yahudi
berpuasa pada hari ‘Asyura ’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya
kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir'aun
dan diselamatkan Nabi Musa, dan
kami berpuasa di hari ini adalah
karena bersyukur kepada Allah ”. Kemudian Rasulullah bersabda: ﺎَﻧَﺃ ُّﻖَﺣَﺃ ﻰَﺳْﻮُﻤِﺑ ْﻢُﻜْﻨِﻣ “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian ”. Lalu Rasulullah berpuasa dan
memerintahkan para sahabatnya
untuk berpuasa. Faedah Hadits: Pelajaran penting yang dapat diambil
dari hadits ini ialah bahwa sangat
dianjurkan untuk melakukan
perbuatan syukur kepada Allah pada
hari-hari tertentu atas nikmat yang
Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur
karena memperoleh nikmat atau
karena diselamatkan dari
marabahaya. Kemudian perbuatan
syukur tersebut diulang pada hari
yang sama di setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat
dilakukan dengan melaksanakan
berbagai bentuk ibadah, seperti sujud
syukur, berpuasa, sedekah, membaca
al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat
yang paling besar bagi umat ini?!
Adakah nikmat yang lebih agung dari
dilahirkannya Rasulullah pada bulan
Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung dari
pada kelahiran Rasulullah yang
menyelamatkan kita dari jalan
kesesatan?! Demikian inilah yang telah
dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar
al-‘Asqalani. 4. Hadits riwayat Imam Muslim dalam
kitab Shahih. Bahwa Rasulullah ketika
ditanya mengapa beliau puasa pada
hari Senin, beliau menjawab: َﻚِﻟﺫ ٌﻡْﻮَﻳ ُﺕْﺪِﻟُﻭ ِﻪْﻴِﻓ “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan ”. (HR Muslim) Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bahwa
Rasulullah melakukan puasa pada
hari senin karena bersyukur kepada
Allah, bahwa pada hari itu beliau
dilahirkan. Ini adalah isyarat dari
Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena
bersyukur kepada Allah atas
kelahiran beliau sendiri pada hari itu,
maka demikian pula bagi kita sudah
selayaknya pada tanggal kelahiran
Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan
membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau
perbuatan baik lainnya. Kemudian,
oleh karena puasa pada hari senin
diulang setiap minggunya, maka
berarti peringatan maulid juga diulang
setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih
diperselisihkan oleh para ulama
mengenai tanggalnya, -bukan pada
harinya-, maka sah-sah saja jika
dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau
10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila
perayaan ini dilaksanakan dalam
sebulan penuh sekalipun,
sebagaimana ditegaskan oleh al-
Hafizh as-Sakhawi seperti yang akan
dikutip di bawah ini. Fatwa Beberapa Ulama Ahlussunnah 1. Fatwa Syaikh al-Islam Khatimah al-
Huffazh Amir al-Mu ’minin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al- ‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan
sebagai berikut: ُﻞْﺻَﺃ ِﻞَﻤَﻋ ِﺪِﻟْﻮَﻤْﻟﺍ ٌﺔَﻋْﺪِﺑ ْﻢَﻟ ْﻞَﻘْﻨُﺗ ِﻦَﻋ ِﻒَﻠَّﺴﻟﺍ ِﺢِﻟﺎَّﺼﻟﺍ َﻦِﻣ ِﻥْﻭُﺮُُﻘْﻟﺍ ِﺔَﺛَﻼَّﺜﻟﺍ ، ﺎَﻬَّﻨِﻜﻟَﻭ َﻊَﻣ َﻚِﻟﺫ ْﺪَﻗ ْﺖَﻠَﻤَﺘْﺷﺍ ﻰَﻠَﻋ َﻦِﺳﺎَﺤَﻣ ﺎَﻫِّﺪِﺿَﻭ ، ْﻦَﻤَﻓ ﻯَّﺮَﺤَﺗ ْﻲِﻓ ﺎَﻬِﻠَﻤَﻋ َﻦِﺳﺎَﺤَﻤْﻟﺍ َﺐَّﻨَﺠَﺗَﻭ ﺎَﻫَّﺪِﺿ ْﺖَﻧﺎَﻛ ًﺔَﻋْﺪِﺑ ًﺔَﻨَﺴَﺣ " َﻝﺎَﻗَﻭ : " ْﺪَﻗَﻭ َﺮَﻬَﻇ ْﻲِﻟ ﺎَﻬُﺠْﻳِﺮْﺨَﺗ ﻰَﻠَﻋ ٍﻞْﺻَﺃ ٍﺖِﺑﺎَﺛ . “Asal peringatan maulid adalah bid ’ah yang belum pernah dinukil dari kaum
Salaf saleh yang hidup pada tiga abad
pertama, tetapi demikian peringatan
maulid mengandung kebaikan dan
lawannya, jadi barangsiapa dalam
peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan
menjauhi lawannya (hal-hal yang
buruk), maka itu adalah bid ’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid
di atas dalil yang tsabit (Shahih)”. 2. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi.
Beliau mengatakan dalam risalahnya
Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan sebagai berikut: ْﻱِﺪْﻨِﻋ َّﻥَﺃ َﻞْﺻَﺃ ِﻞَﻤَﻋ ِﺪِﻟِﻮَﻤْﻟﺍ ْﻱِﺬَّﻟﺍ َﻮُﻫ ُﻉﺎَﻤِﺘْﺟﺍ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ُﺓَﺀﺍَﺮِﻗَﻭ ﺎَﻣ َﺮَّﺴَﻴَﺗ َﻦِﻣ ِﻥﺍَﺀْﺮُﻘﻟﺍ ُﺔَﻳﺍَﻭِﺭَﻭ ِﺭﺎَﺒْﺧَﻷﺍ ِﺓَﺩِﺭﺍَﻮْﻟﺍ ْﻲِﻓ ِﺇَﺪْﺒَﻣ ِﺮْﻣَﺃ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﺎَﻣَﻭ َﻊَﻗَﻭ ْﻲِﻓ ِﻩِﺪِﻟْﻮَﻣ َﻦِﻣ ِﺕﺎَﻳﻵﺍ ، َّﻢُﺛ ُّﺪَﻤُﻳ ْﻢُﻬَﻟ ٌﻁﺎَﻤِﺳ ُﻪَﻧْﻮُﻠُﻛْﺄَﻳ َﻥْﻮُﻓِﺮَﺼْﻨَﻳَﻭ ْﻦِﻣ ِﺮْﻴَﻏ ٍﺓَﺩﺎَﻳِﺯ ﻰَﻠَﻋ َﻚِﻟﺫ َﻮُﻫ َﻦِﻣ ِﻉَﺪِﺒْﻟﺍ ِﺔَﻨَﺴَﺤْﻟﺍ ْﻲِﺘَّﻟﺍ ُﺏﺎَﺜُﻳ ﺎَﻬْﻴَﻠَﻋ ﺎَﻬُﺒِﺣﺎَﺻ ﺎَﻤِﻟ ِﻪْﻴِﻓ ْﻦِﻣ ِﻢْﻴِﻈْﻌَﺗ ِﺭْﺪَﻗ ِّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ِﺭﺎَﻬْﻇِﺇَﻭ ِﺡَﺮَﻔْﻟﺍ ِﺭﺎَﺸْﺒِﺘْﺳﻻﺍَﻭ ِﻩِﺪِﻟْﻮَﻤِﺑ ِﻒْﻳِﺮَّﺸﻟﺍ . ُﻝَّﻭَﺃَﻭ ْﻦَﻣ َﺙَﺪْﺣَﺃ َﻚِﻟﺫ ُﺐِﺣﺎَﺻ ﻞِﺑْﺭِﺇ ُﻚِﻠَﻤْﻟﺍ ُﺮَّﻔَﻈُﻤْﻟﺍ ْﻮُﺑَﺃ ٍﺪْﻴِﻌَﺳ ْﻱِﺮْﺒَﻛْﻮَﻛ ُﻦْﺑ ِﻦْﻳَﺯ ِﻦْﻳِّﺪﻟﺍ ِﻦْﺑﺍ ﻦْﻴِﻜُﺘْﻜُﺑ ُﺪَﺣَﺃ ِﻙْﻮُﻠُﻤْﻟﺍ ِﺩﺎَﺠْﻣَﻷﺍ ِﺀﺍَﺮَﺒُﻜْﻟﺍَﻭ ِﺩﺍَﻮْﺟَﻷﺍَﻭ ، َﻥﺎَﻛَﻭ ُﻪَﻟ ٌﺭَﺎﺛﺁ ٌﺔَﻨَﺴَﺣ َﻮُﻫَﻭ ْﻱِﺬَّﻟﺍ َﺮَّﻤَﻋ َﻊِﻣﺎَﺠْﻟﺍ َّﻱِﺮَّﻔَﻈُﻤْﻟﺍ ِﺢْﻔَﺴِﺑ َﻥْﻮُﻴِﺳﺎَﻗ . “Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan
orang-orang, berisi bacaan beberapa
ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits- hadits tentang permulaan sejarah
Rasulullah dan tanda-tanda yang
mengiringi kelahirannya, kemudian
disajikan hidangan lalu dimakan oleh
orang-orang tersebut dan kemudian
mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah
termasuk bid ’ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala.
Karena perkara semacam itu
merupakan perbuatan
mengagungkan terhadap kedudukan
Rasulullah dan merupakan
penampakan akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang
mulia. Orang yang pertama kali
merintis peringatan maulid ini adalah
penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar Abu
Sa'id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn
Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau
memiliki peninggalan dan jasa-jasa
yang baik, dan dialah yang
membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”. 3. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi
seperti disebutkan dalam al-Ajwibah
al-Mardliyyah, sebagai berikut: ْﻢَﻟ ْﻞَﻘْﻨُﻳ ْﻦَﻋ ٍﺪَﺣَﺃ َﻦِﻣ ِﻒَﻠَّﺴﻟﺍ ِﺢِﻟﺎَّﺼﻟﺍ ْﻲِﻓ ِﻥْﻭُﺮُﻘْﻟﺍ ِﺔَﺛَﻼَّﺜﻟﺍ ِﺔَﻠِﺿﺎَﻔْﻟﺍ ، ﺎَﻤَّﻧِﺇَﻭ َﺙَﺪَﺣ ُﺪْﻌَﺑ ، َّﻢُﺛ ﺎَﻣ َﻝﺍَﺯ ُﻞـْﻫَﺃ ِﻡَﻼْﺳِﻹﺍ ْﻲِﻓ ِﺮِﺋﺎَﺳ ِﺭﺎَﻄْﻗَﻷﺍ ِﻥُﺪـُﻤْﻟﺍَﻭ ِﻡﺎَﻈِﻌْﻟﺍ َﻥْﻮُﻠِﻔَﺘْﺤَﻳ ْﻲِﻓ ِﺮْﻬَﺷ ِﻩِﺪِﻟْﻮَﻣ - ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ َﻑَّﺮَﺷَﻭ َﻡَّﺮَﻛَﻭ - َﻥْﻮُﻠَﻤْﻌَﻳ َﻢِﺋَﻻَﻮْﻟﺍ َﺔَﻌْﻳِﺪَﺒْﻟﺍ َﺔَﻠِﻤَﺘْﺸُﻤْﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ ِﺭْﻮُﻣُﻷﺍ ِﺔَﺠِﻬَﺒﻟﺍ ِﺔَﻌْﻴِﻓَّﺮﻟﺍ ، َﻥْﻮُﻗَّﺪَﺼَﺘَﻳَﻭ ْﻲِﻓ ِﻪْﻴِﻟﺎَﻴَﻟ ِﻉﺍَﻮْﻧَﺄِﺑ ِﺕﺎَﻗَﺪَّﺼﻟﺍ ، َﻥْﻭُﺮِﻬْﻈُﻳَﻭ َﺭْﻭُﺮُّﺴﻟﺍ ، َﻥْﻭُﺪْﻳِﺰَﻳَﻭ ْﻲِﻓ ِﺕﺍَّﺮَﺒَﻤْﻟﺍ ، ْﻞَﺑ َﻥْﻮُﻨَﺘْﻌَﻳ ِﺓَﺀﺍَﺮِﻘِﺑ ِﻩِﺪِﻟْﻮَﻣ ِﻢْﻳِﺮَﻜْﻟﺍ ، ُﺮَﻬْﻈَﺗَﻭ ْﻢِﻬْﻴَﻠَﻋ ْﻦِﻣ ِﻪِﺗﺎَﻛَﺮَﺑ ُّﻞُﻛ ٍﻞْﻀَﻓ ٍﻢْﻴِﻤَﻋ ُﺚْﻴَﺤِﺑ َﻥﺎَﻛ ﺎَّﻤِﻣ َﺏِّﺮُﺟ " . َّﻢُﺛ َﻝﺎَﻗ : " ُﺖْﻠُﻗ : َﻥﺎَﻛ ُﻩُﺪِﻟْﻮَﻣ ُﻒْﻳِﺮَّﺸﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ ِّﺢَﺻَﻷﺍ َﺔَﻠْﻴَﻟ ِﻦْﻴَﻨْﺛِﻹﺍ َﻲِﻧﺎَّﺜﻟﺍ َﺮَﺸَﻋ ْﻦِﻣ ِﺮْﻬَﺷ ﻊْﻴِﺑَﺭ ِﻝَّﻭَﻷﺍ ، َﻞْﻴِﻗَﻭ : ِﻦْﻴَﺘَﻠْﻴَﻠِﻟ ﺎَﺘَﻠَﺧ ُﻪْﻨِﻣ ، َﻞْﻴِﻗَﻭ : ٍﻥﺎَﻤَﺜِﻟ ، َﻞْﻴِﻗَﻭ : ٍﺮْﺸَﻌِﻟ َﻞْﻴِﻗَﻭ ُﺮْﻴَﻏ َﻚِﻟَﺫ ، ٍﺬِﺌَﻨْﻴِﺣَﻭ َﻼَﻓ َﺱْﺄَﺑ ِﻞْﻌِﻔِﺑ ِﺮْﻴَﺨْﻟﺍ ْﻲِﻓ ِﻩِﺬﻫ ِﻡﺎَّﻳَﻷﺍ ْﻲِﻟﺎَﻴَّﻠﻟﺍَﻭ ﻰَﻠَﻋ ِﺐَﺴَﺣ ِﺔَﻋﺎَﻄِﺘْﺳﻻﺍ ْﻞَﺑ ُﻦُﺴْﺤَﻳ ْﻲِﻓ ِﻡﺎَّﻳَﺃ ِﺮْﻬَّﺸﻟﺍ ﺎَﻬِّﻠُﻛ
ِﻪْﻴِﻟﺎَﻴَﻟَﻭ . “Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari
kaum Salaf Saleh yang hidup pada tiga
abad pertama yang mulia, melainkan
baru ada setelah itu di kemudian. Dan
ummat Islam di semua daerah dan
kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi
pada bulan kelahiran Rasulullah.
Mereka mengadakan jamuan-jamuan
makan yang luar biasa dan diisi
dengan hal-hal yang
menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan
berbagai macam sedekah, mereka
menampakkan kegembiraan dan
suka cita. Mereka melakukan
kebaikan-kebaikan lebih dari
biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid.
Dan nampaklah keberkahan Nabi dan
Maulid secara merata. Dan ini semua
telah teruji”. Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat
yang paling shahih adalah malam
Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam
tanggal 2, 8, 10 dan masih ada
pendapat-pendapat lain. Oleh
karenanya tidak mengapa melakukan
kebaikan kapanpun pada hari-hari
dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika
dilakukan pada hari-hari dan malam-
malam bulan Rabi'ul Awwal
seluruhnya” . Jika kita membaca fatwa-fatwa para
ulama terkemuka ini dan
merenungkannya dengan hati yang
jernih, kita akan mengetahui bahwa
sebenarnya sikap “sinis” yang timbul dari sebagian orang yang
mengharamkan Maulid Nabi tidak lain
hanya didasarakan kepada hawa
nafsu belaka. Orang-orang semacam
itu sama sekali tidak peduli dengan
fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan
mereka yang sangat merisihkan ialah
bahwa mereka seringkali
menyamakan peringatan maulid Nabi
ini dengan perayaan Natal yang
dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka,
karena sangat benci terhadap
perayaan Maulid Nabi ini, dengan
tanpa malu dan tanpa risih sama sekali
berkata: َّﻥِﺇ َﺔَﺤْﻴِﺑَّﺬﻟﺍ ْﻲِﺘَّﻟﺍ ُﺢَﺑْﺬُﺗ ِﻡﺎَﻌْﻃِﻹ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ْﻲِﻓ ِﺪِﻟْﻮَﻤْﻟﺍ ُﻡَﺮْﺣَﺃ َﻦِﻣ ِﺮْﻳِﺰْﻨِﺨْﻟﺍ . “Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu
orang dalam peringatan maulid lebih
haram dari daging babi”. Orang-orang anti maulid ini
menganggap bahwa perbuatan
bid’ah semcam Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik.
Dengan demikian, -menurut mereka-,
lebih besar dosanya dari pada
memakan daging babi yang hanya
haram saja dan tidak mengandung
unsur syirik. Jawab: Na’udzu Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan orang semacam
ini. Bagaimana ia berani dan tidak
punya rasa malu sama sekali
mengatakan peringatan Maulid Nabi, -
yang telah disetujui oleh para ulama
dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh
para ahli hadits dan lainnya-, dengan
perkataan seburuk seperti ini?! Orang
seperti ini benar-benar tidak tahu diri.
Apakah dia merasa telah menjadi
seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Hafzih as-Suyuthi atau al-Hafizh as-
Sakhawi atau bahkan merasa lebih
alim dari mereka?! Bagaimana ia
membandingkan makan daging babi
yang telah nyata dan tegas hukum
haramnya di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid
Nabi yang sama sekali tidak ada
pengharamannya dari nash-nash
syari’at?! Ini artinya, bahwa orang- orang semacam dia yang
mengharamkan maulid ini tidak
mengetahui Maratib al-Ahkam;
tingkatan-tingkatan hukum. Mereka
tidak mengetahui mana yang haram
dan mana yang mubah, mana yang haram dengan nash dan mana yang
haram dengan istinbath. Tentunya
orang-orang ”tolol” semacam ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan
dijadikan panutan atau ikutan dalam
mengamalkan ajaran agama Allah ini. Pembacaan Buku-Buku Maulid Di antara rangkaian acara peringatan
Maulid Nabi adalah membaca kisah-
kisah tentang kelahiran Rasulullah. Al-
Hafizh as-Sakhawi menuliskan sebagai
berikut: ﺎَّﻣَﺃَﻭ ُﺓَﺀﺍَﺮِﻗ ِﺪِﻟْﻮَﻤْﻟﺍ ْﻲِﻐَﺒْﻨَﻴَﻓ ْﻥَﺃ َﺮَﺼَﺘْﻘُﻳ ُﻪْﻨِﻣ ﻰَﻠَﻋ ﺎَﻣ ُﻩَﺩَﺭْﻭَﺃ ُﺔَّﻤِﺋَﺃ ِﺚْﻳِﺪَﺤْﻟﺍ ْﻲِﻓ ْﻢِﻬِﻔْﻴِﻧﺎَﺼَﺗ ِﺔَّﺼَﺘْﺨُﻤْﻟﺍ ِﻪِﺑ ِﺩِﺭْﻮَﻤْﻟﺎَﻛ ِّﻲِﻨَﻬْﻟﺍ ِّﻲِﻗﺍَﺮِﻌْﻠِﻟ – ْﺪَﻗَﻭ ُﺖْﺛَّﺪَﺣ ِﻪِﺑ ْﻲِﻓ ِّﻞَﺤَﻤْﻟﺍ ِﺭﺎَﺸُﻤْﻟﺍ ِﻪْﻴَﻟِﺇ َﺔَّﻜَﻤِﺑ - ، ِﺮْﻴَﻏَﻭ ِﺔَّﺼَﺘْﺨُﻤْﻟﺍ ِﻪِﺑ ْﻞَﺑ َﺮِﻛُﺫ ﺎًﻨْﻤِﺿ ِﻞِﺋَﻻَﺪَﻛ ِﺓَّﻮُﺒـُّﻨﻟﺍ ِّﻲِﻘَﻬْﻴَﺒْﻠِﻟ ، ْﺪَﻗَﻭ َﻢِﺘُﺧ َّﻲَﻠَﻋ ِﺔَﺿْﻭَّﺮﻟﺎِﺑ ِﺔَّﻳِﻮَﺒـَّﻨﻟﺍ ، َّﻥَﻷ َﺮَﺜْﻛَﺃ ﺎَﻣ ْﻱِﺪْﻳَﺄِﺑ ِﻅﺎَّﻋُﻮْﻟﺍ ُﻪْﻨِﻣ ٌﺏِﺬَﻛ ٌﻕَﻼِﺘْﺧﺍَﻭ ، ْﻞَﺑ ْﻢَﻟ ﺍْﻮُﻟﺍَﺰَﻳ َﻥْﻭُﺪِّﻟَﻮُﻳ ِﻪْﻴِﻓ ﺎَﻣ َﻮُﻫ ُﺢَﺒْﻗَﺃ ُﺞَﻤْﺳَﺃَﻭ ﺎَّﻤِﻣ َﻻ ُّﻞِﺤَﺗ ُﻪُﺘَﻳﺍَﻭِﺭ َﻻَﻭ ُﻪُﻋﺎَﻤَﺳ ، ْﻞَﺑ ُﺐِﺠَﻳ ﻰَﻠَﻋ ْﻦَﻣ َﻢِﻠَﻋ ُﻪُﻧَﻼْﻄُﺑ ُﻩُﺭﺎَﻜْﻧِﺇ ، ُﺮْﻣَﻷﺍَﻭ ِﻙْﺮَﺘِﺑ ِﻪِﺘِﺋﺍَﺮِﻗ ، ﻰَﻠَﻋ ُﻪَّﻧَﺃ َﻻ َﺓَﺭْﻭُﺮَﺿ ﻰَﻟِﺇ ِﻕﺎَﻴِﺳ ِﺮْﻛِﺫ ِﺪِﻟْﻮَﻤْﻟﺍ ، ْﻞَﺑ ﻰَﻔَﺘْﻜُﻳ ِﺓَﻭَﻼِّﺘﻟﺎِﺑ ِﻡﺎَﻌْﻃِﻹﺍَﻭ ِﺔَﻗَﺪَّﺼﻟﺍَﻭ ، ِﺩﺎَﺸْﻧِﺇَﻭ ٍﺀْﻰَﺷ َﻦِﻣ ِﺢِﺋﺍَﺪَﻤْﻟﺍ ِﺔَّﻳِﻮَﺒـَّﻨﻟﺍ ِﺔَّﻳِﺪْﻫُّﺰﻟﺍَﻭ ِﺔَﻛِّﺮَﺤُﻤْﻟﺍ ِﺏْﻮُﻠُﻘْﻠِﻟ ﻰَﻟِﺇ ِﻞْﻌِﻓ ِﺮْﻴَﺨْﻟﺍ ِﻞَﻤَﻌْﻟﺍَﻭ ِﺓَﺮِﺧﻶِﻟ ُﻪﻠﻟﺍَﻭ ْﻱِﺪْﻬَﻳ ْﻦَﻣ ُﺀﺎَﺸَﻳ . “Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca
hanya yang disebutkan oleh para
ulama ahli hadits dalam karangan-
karangan mereka yang khusus
berbicara tentang kisah kelahiran
Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy karya al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah),
atau tidak khusus -dengan karya-
karya tentang maulid saja- tetapi juga
dengan menyebutkan riwayat-riwayat
yang mengandung tentang kelahiran
Nabi, seperti kitab Dala-il an- Nubuwwah karya al-Baihaqi. Kitab ini
juga telah dibacakan kepadaku
hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena
kebanyakan kisah maulid yang ada di
tangan para penceramah adalah
riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih
terus memunculkan riwayat-riwayat
dan kisah-kisah yang lebih buruk dan
tidak layak didengar, yang tidak boleh
diriwayatkan dan didengarkan, justru
sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan
melarang untuk dibaca. Padahal
sebetulnya tidak mesti ada
pembacaan kisah-kisah maulid dalam
peringatan maulid Nabi, melainkan
cukup membaca beberapa ayat al- Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih
Nabawiyyah (pujian-pujian terhadap
Nabi) dan syair-syair yang mengajak
kepada hidup zuhud, mendorong hati
untuk berbuat baik dan beramal
untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia
kehendaki ”. Kerancuan Faham Kalangan Anti
Maulid 1. Kalangan yang mengharamkan
peringatan Maulid Nabi berkata:
“Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak
pernah dilakukan oleh para
sahabatnya. Seandainya hal itu
merupakan perkara baik niscaya
mereka telah mendahului kita dalam
melakukannya ”. Jawab: Baik, Rasulullah tidak melakukannya,
apakah beliau melarangnya? Perkara
yang tidak dilakukan oleh Rasulullah
tidak sertamerta sebagai sesuatu yang
haram. Tapi sesuatu yang haram itu
adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh
Rasulullah. Karena itu Allah berfirman: ﺎَﻣَﻭ ُﻢُﻛﺎَﺗَﺁ ُﻝﻮُﺳَّﺮﻟﺍ ُﻩﻭُﺬُﺨَﻓ ﺎَﻣَﻭ ْﻢُﻛﺎَﻬَﻧ ُﻪْﻨَﻋ ﺍﻮُﻬَﺘْﻧﺎَﻓ ) ﺮﺸﺤﻟﺍ : 7 ) “Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa
yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah ”. (QS. al-Hasyr: 7) Dalam firman Allah di atas disebutkan
“Apa yang dilarang ole Rasulullah atas kalian maka tinggalkanlah ”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah ”. Ini artinya bahwa perkara haram
adalah sesuatu yang dilarang dan
diharamkan oleh Rasulullah, bukan
sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu
perkara itu tidak haram hukumnya
hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah. Melainkan ia menjadi
haram ketika ada dalil yang melarang
dan mengharamkannya. Lalu kita katakan kepada mereka:
Apakah untuk mengetahui bahwa
sesuatu itu boleh atau sunnah harus
ada nash dari Rasulullah langsung
yang secara khusus menjelaskannya?!
Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya perkara maulid harus ada
nash khusus dari Rasulullah yang
berbicara tentang maulid itu sendiri?!
Bagaimana mungkin Rasulullah
berbicara atau melakukan segala
sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?!
Bukankah jumlah nash-nash syari ’at, baik ayat-ayat al-Qur ’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas,
artinya tidak membicarakan setiap
peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa
baru akan terus bermunculan dan
selalu bertambah?! Jika setiap perkara
harus dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi
ijtihad dan apa fungsi ayat-ayat atau
hadits-hadits yang memberikan
pemahaman umum?! Misalkan firman
Allah: ﺍﻮُﻠَﻌْﻓﺍَﻭ َﺮْﻴَﺨْﻟﺍ ْﻢُﻜَّﻠَﻌَﻟ َﻥﻮُﺤِﻠْﻔُﺗ ) ﺞﺤﻟﺍ : 77 ) “Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung ” (QS. al Hajj: 77) Apakah kemudian setiap bentuk
kebaikan harus dikerjakan terlebih
dahulu oleh Rasulullah supaya
dihukumi bahwa kebaikan tersebut
boleh dilakukan?! Tentunya tidak
demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya memberikan
kaedah-kaedah atau garis besarnya
saja. Karena itulah dalam setiap
pernyataan Rasulullah terdapat apa
yang disebut dengan Jawami’ al- Kalim. Artinya bahwa dalam setiap
ungkapan Rasulullah terdapat
kandungan makna yang sangat luas.
Dalam sebuah hadits shahih
Rasulullah bersabda: ْﻦَﻣ َّﻦَﺳ ِﻲﻓ ِﻡَﻼـْﺳِﻹْﺍ ًﺔَّﻨُﺳ ًﺔَـﻨَﺴَﺣ ُﻪَﻠَﻓ ﺎَﻫُﺮْﺟَﺃ ُﺮْﺟَﺃَﻭ ْﻦَﻣ َﻞِﻤَﻋ ﺎَﻬِﺑ ُﻩَﺪْﻌَﺑ ْﻦِﻣ ِﺮْﻴَﻏ ْﻥَﺃ َﺺُﻘْﻨَﻳ ْﻦِﻣ ْﻢِﻫِﺭْﻮُﺟُﺃ ٌﺀْﻰَﺷ ) ﻩﺍﻭﺭ ﻡﺎﻣﻹﺍ ﻢﻠﺴﻣ ﻲﻓ ﻪﺤﻴﺤﺻ ) “Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah
perkara yang baik maka ia akan
mendapatkan pahala dari
perbuatannya tersebut dan pahala
dari orang-orang yang mengikutinya
sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun ”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya). Dalam hadits shahih lainnya,
Rasulullah bersabda: ْﻦَﻣ َﺙَﺪْﺣَﺃ ْﻲِﻓ ﺎَﻧِﺮْﻣَﺃ ﺍَﺬﻫ ﺎَﻣ َﺲْﻴَﻟ ُﻪْﻨِﻣ َﻮُﻬَﻓ ٌّﺩَﺭ ) ﻩﺍﻭﺭ ﻢﻠﺴﻣ ) “Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan
berasal darinya maka ia tertolak ”. (HR. Muslim) Dalam hadits ini Rasulullah
menegaskan bahwa sesuatu yang
baru dan tertolak adalah sesuatu yang
“bukan bagian dari syari ’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang
tertolak adalah yang menyalahi
syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan
Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah atau oleh
para sahabatnya adalah perkara yang
pasti haram dan sesat dengan tanpa
terkecuali, maka Rasulullah tidak akan
mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai ’an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini
maka ia pasti tertolak). Dan bila
maknanya seperti ini maka berarti hal
ini bertentangan dengan hadits
riwayat Imam Muslim di atas
sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim
ini megandung isyarat anjuran bagi
kita untuk membuat suatu yang baru,
yang baik, dan yang sejalan dengan
syari’at Islam. Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan
tertolak. Namun setiap perkara baru
harus dicari hukumnya dengan dilihat
persesuaiannya dengan dalil-dalil dan
kaedah-kaedah syara ’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika
menyalahi maka tentu tidak boleh
dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn
Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut: ُﻖْﻴِﻘْﺤَّﺘﻟﺍَﻭ ﺎَﻬَّﻧَﺃ ْﻥِﺇ ْﺖَﻧﺎَﻛ ﺎَّﻤِﻣ ُﺝِﺭَﺪْﻨَﺗ َﺖْﺤَﺗ ٍﻦَﺴْﺤَﺘْﺴُﻣ ْﻲِﻓ ِﻉْﺮَّﺸﻟﺍ َﻲِﻬَﻓ ٌﺔَﻨَﺴَﺣ ، ْﻥِﺇَﻭ ْﺖَﻧﺎَﻛ ﺎَّﻤِﻣ ُﺝِﺭَﺪْﻨَﺗ َﺖْﺤَﺗ ٍﺢَﺒْﻘَﺘْﺴُﻣ ْﻲِﻓ ِﻉْﺮَّﺸﻟﺍ َﻲِﻬَﻓ ٌﺔَﺤَﺒْﻘَﺘْﺴُﻣ “Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq
(penelitian) para ulama adalah; bahwa
jika perkara baru tersebut masuk dan
tergolong kepada hal yang baik
dalam syara’ berarti termasuk bid ’ah hasanah, dan jika tergolong kepada
hal yang buruk dalam syara ’ maka berarti termasuk bid ’ah yang buruk”. Pantaskah dengan keagungan Islam
dan keluasan kaedah-kaedahnya jika
dikatakan bahwa setiap perkara baru
adalah sesat? 2. Kalangan yang mengharamkan
peringatan Maulid Nabi biasanya
berkata: “Peringatan maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara
haram dan maksiat ”. Jawab: Apakah karena alasan tersebut lantas
peringatan maulid menjadi haram
secara mutlak?! Pendekatannya;
Apakah seseorang haram baginya
untuk masuk ke pasar, dengan alasan
di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti
membuka aurat, menggunjingkan
orang, menipu dan lain sebagainya?!
Tentu tidak demikian. Maka demikian
pula dengan peringatan maulid, jika
ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam
pelaksanaannya, maka kesalahan-
kesalahan itulah yang harus
diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu
bukan dengan mengharamkan
hukum maulid itu sendiri. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar telah
mengatakan: ُﻞْﺻَﺃ ِﻞَﻤَﻋ ِﺪِﻟْﻮَﻤْﻟﺍ ٌﺔَﻋْﺪِﺑ ْﻢَﻟ ْﻞَﻘْﻨُﺗ ِﻦَﻋ ِﻒَﻠَّﺴﻟﺍ ِﺢِﻟﺎَّﺼﻟﺍ َﻦِﻣ ِﻥْﻭُﺮُُﻘْﻟﺍ ِﺔَﺛَﻼَّﺜﻟﺍ ، ﺎَﻬَّﻨِﻜﻟَﻭ َﻊَﻣ َﻚِﻟﺫ ْﺪَﻗ ْﺖَﻠَﻤَﺘْﺷﺍ ﻰَﻠَﻋ َﻦِﺳﺎَﺤَﻣ ﺎَﻫِّﺪِﺿَﻭ ، ْﻦَﻤَﻓ ﻯَّﺮَﺤَﺗ ْﻲِﻓ ﺎَﻬِﻠَﻤَﻋ َﻦِﺳﺎَﺤَﻤْﻟﺍ َﺐَّﻨَﺠَﺗَﻭ ﺎَﻫَّﺪِﺿ ْﺖَﻧﺎَﻛ ًﺔَﻋْﺪِﺑ ًﺔَﻨَﺴَﺣ “Asal peringatan maulid adalah bid ’ah yang belum pernah dinukil dari kaum
Salaf saleh pada tiga abad pertama,
tetapi meski demikian peringatan
maulid mengandung kebalikan dan
lawannya. Barangsiapa dalam
memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan
menjauhi lawannya (hal-hal buruk
yang diharamkan), maka itu adalah
bid’ah hasanah”. 3. Kalangan yang mengharamkan
peringatan Maulid Nabi berkata:
“Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat
besar. Hal itu adalah perbuatan
tabdzir. Mengapa tidak dialokasikan
saja untuk kebutuhan ummat yang
lebih penting?”. Jawab: Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah.
Perkara yang telah dianggap baik
oleh para ulama disebutnya sebagai
tabdzir?! Orang yang berbuat baik,
bersedekah, ia anggap telah
melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan tabdzir?! Mengapa orang-
orang seperti ini selalu saja
berprasangka buruk (suuzhzhann)
terhadap umat Islam?! Mengapa harus
mencari-cari dalih untuk
mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-
Nya?! Mengapa mereka selalu saja
beranggapan bahwa peringatan
maulid tidak ada unsur kebaikannya
sama sekali untuk ummat ini?!
Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada
perjuangan Rasulullah dalam
berdakwah sehingga membangkitkan
semangat kita untuk berdakwah
seperti yang telah dicontohkan
beliau?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada
Rasulullah dan menjadikan kita
banyak bershalawat kepadanya?!
Sesungguhnya maslahat-maslahat
besar semacam ini bagi orang yang
beriman tidak bisa diukur dengan harta. 4. Kalangan yang mengharamkan
peringatan Maulid Nabi sering berkata:
“Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-
Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah
memobilisasi ummat untuk berjihad.
Berarti orang yang melakukan
peringatan maulid bukan dengan
tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh karenanya
peringatan maulid tidak perlu ”. Jawab: Pernyataan seperti ini sangat aneh.
Ahli sejarah mana yang mengatakan
bahwa orang yang pertama kali
mengadakan peringatan maulid
adalah sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir, al-Hafizh
as-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi dan
lainnya telah sepakat menyatakan
bahwa orang yang pertama kali
mengadakan peringatan maulid
adalah Raja al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Orang yang
mengatakan bahwa sultan
Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama
kali mengadakan Maulid Nabi telah
membuat “rekayasa jahat ” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa
sultan Shalahuddin membuat maulid
untuk tujuan mobilisasi umat untuk
jihad dalam perang salib, maka jika
diadakan bukan untuk tujuan seperti
ini berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang menyesesatkan. Target mereka yang berkata demikian
adalah hendak mengharamkan
maulid, atau paling tidak hendak
mengatakan tidak perlu. Kita katakan
kepada mereka: Apakah jika orang
hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara sultan
Shalahuddin? Apakah menurut
mereka yang berjuang untuk Islam
hanya bala tentara sultan Shalahuddin
saja? Dan apakah dalam berjuang
harus mengikuti metode dan strategi Shalahuddin saja, dan jika tidak,
berarti tidak berjuang namanya?! Hal
yang sangat mengherankan ialah
kenapa bagi sebagian mereka yang
mengharamkan maulid ini, dalam
keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian
mereka mengatakan maulid boleh,
istighotsah boleh, bahkan ikut-ikutan
tawassul, tapi kemudian terhadap
orang lain mereka
mengharamkannya?! Hasbunallah. Para ahli sejarah yang telah kita
sebutkan di atas, tidak ada
seorangpun dari mereka yang
mengisyaratkan bahwa tujuan maulid
adalah untuk memobilisasi ummat
untuk jihad dalam perang di jalan Allah. Lalu dari mana muncul
pemikiran seperti ini?! Tidak lain,
pemikiran tersebut hanya muncul dari
hawa nafsu belaka. Benar, mereka
selalu mencari-cari celah sekecil
apapun untuk mengungkapkan “kebencian ” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini.
Apa dasar mereka mengatakan
bahwa peringatan maulid baru boleh
diadakan jika tujuannya mobilisasi
massa untuk jihad?! Apa dasar
perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada. Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh
as-Suyuthi, al-Hafizh as-Sakhawi dan
para ulama lainnya yang telah
menjelaskan tentang kebolehan
peringatan Maulid Nabi, sama sekali
tidak mengaitkannya dengan tujuan mobilisasi massa untuk berjihad.
Kemudian dalil-dalil yang mereka
kemukakan dalam masalah maulid
tidak menyebut prihal jihad sama
sekali, bahkan mengisyaratkan saja
tidak. Dari sini kita tahu betapa rancu dan tidak berdasar perkataan mereka
bila sudah berkaitan dengan hukum,
istinbath dan istidlal. Semoga Allah
merahmati para ulama kita.
Sesungguhnya mereka adalah cahaya
penerang bagi umat ini dan sebagai penuntun bagi kita semua menuju
jalan yang diridlai Allah. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar